Sigi (Outsiders) – Ditengah terik matahari yang menyengat kulit, dari Acid menghentikan mobil dipinggir jalan yang mengalami retak cukup lebar yang hampir membelah jalan selebar 12 meter tersebut.
Setelah masing-masing mempersiapkan perlengkapan dokumentasi, kami langsung turun dan melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Poros Palu – Palolo, sebuah jalan peopinsi yang menghubungkan Kota Palu dengan Kabupaten Sigi.
Kami akan menuku ke dusun Ill, dimana dari informasi-informasi yang kami dapat, dususn tersebut lenyap dan berpindah tempat karena likuifasi yang timbul setelah terjadinya gempa 7,4 Skala Ritcher yang mengguncang Kota Palu dan sekitarnya pada hari Jumat (28/09) lalu.
Setelah menyususri jalan aspal yang sebagian besar sudah hancur, kamisampai di sebuah jembatan yang sekaligus merupakan batas wilayah dususn II dengan dusun III. Ujung jembatan ini juga menjadi ujung dari jalan poros tersebut, dimana setelah jembatan tersebut tidak ada lagi jalan, semua sudah tenggelam dalam lautan lumpur.
“Jalan ini sebelumnya lurus sampai ke ujung sana, dekat tower itu dan disamping kiri dan kanan jalan berjejer rumah, ruko dan juga tempat-tempat ibadah,” terang seorang warga ikut menyaksikan sisa-sisa dusun yang hilang tersebut.
Menurut lelaki parobaya yang bernama Amrik itu, ratusan rumah yang sebelumnya berada di dusun III itu bergeser ke arah timur dan sebagian besar tenggelam dalam lumpur.
“Di sekitar sini ratusan rumah. Termasuk rumah saya. Sedangkan kebun jagung dan kelapa itu sebelumnya terletak diatas sana. Jadi bergeser lebih dari 5 kilometer,” jelas Amrik yang mengaku rumahnya tidak lagi diketahui posisinya dan satu orang anaknya masih belum ditemukan.
Dari data yang dirilis oleh pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tanah yang mengalami likuifaksi seluas 200 hektar lebih dan 360 unit rumah terbenam lumpur, sedangkan korban yang tertimbun diperkirakan lebih dari 1000 orang.
Ombak Lumpur Menggulung Rumah
Hari Jumat menjelang malam tanggal 28 September 2018 lalu, akan selalu menjadi hari yang tidak akan terlupakan oleh M. Aris, karena pada hari itu hal yang belum pernah terlihat bahkan tidak sekalipun pernah terbayangkan dalam pikirannya akan terjadi.
Disaat dirinya bersiap untuk pergi ke Kota Palu untuk menjual hasil kebunnya, tepatnya setelah azan Magrib berkumandang, terjadi sebuah goncangan dahsyat, gempa bumi dengan kekuatan 7,4 Skala Ritcher.
Gempa yang terasa sebanyak dua kali itu merubuhkan bagian belakang rumahnya dan membuat keadaan menjadi gelap gulita, karena aliran listrik langsung terputus. Dia kemudian bergegas menyelamatkan ibunya yang sedang tergeletak sakit, sedangkan istri dan anak-anaknya sudah duluan berlari keluar rumah.
“Sesampai saya di luar rumah, hal yang menakutkan itu kemudian terjadi. Tanah-tanah berubah menjadi lumpur yang menggulung rumah-rumah,” cerita M. Aris dengan wajah yang masih digelayuti rasa ketakutan.
“Baru kali ini saya melihat hal seperti ini. Seperti kiamat. Saya berlari cepat menuju jembatan sambil menggendong ibu saya. Istri dan anak-anak saya tidak terlihat lagi. Saya masih sempat melihat orang-orang berlari-larian, lumpur semakin bergelombang,” sambungnya.
Ketika sampai ditempat yang dirasa sudah aman, dirinya kemudian mencari istri dan anak-anaknya yang ternyata sudah duluan berada di lokasi tersebut. “Susah menceritakan dengan kata-kata. Sangat mengerikan melihat ombak lumpur membenamkan rumah-rumah itu. Dan pohon-pohon kelapa berjalan diatas lumpur. Berpindah-berpindah tempat seperti melayang,” sambungnya.
Cerita dari mulut M. Aris ini menguatkan apa yang kami saksikan di lokasi, dimana hamparan lumpur yang mulai mengering membentang luas. Pada dua tempat terlihat bagian-bagian rumah bertumpukan, yang menurut warga merupakan lokasi tertimbunnya ratusan rumah-rumah tersebut.
Tidak terlihat lagi ada perkampungan di wilayah tersebut. Jalan-jalan telah hilang, bahkan sungai yang sebelumnya dialiri air yang cukup banyak, kini hanya tinggal lumpur yang mulai menggering.***
Rilis – Tulisan Relawan Riau Care Indonesia, Sigi, 12 Oktober 2018