Kemenko PMK Kumpulkan Pemangku Kepentingan Bahas Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Jakarta (Outsiders) — Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak, Marwan Syaukani memimpin Rapat Koordinasi Perumusan Kebijakan Upaya Pencegahan Perkawinan Anak yang berlangsung di Jakarta. Hadir dalam rakor tersebut Kementerian/Lembaga terkait seperti BKKBN, Kemenkumham, KPAI, BAPPENAS, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak.

Dalam pembukaan, Marwan mengatakan bahwa perkawinan anak dibawah 18 tahun harus menjadi perhatian serius semua kalangan. “Yang saat ini menjadi concern kita adalah masih banyak pernikahan anak dibawah 18 tahun di Indonesia.” ungkap Marwan.

Perkawinan di bawah umur memang menjadi perhatian dunia, termasuk di Indonesia. Ada banyak alasan bahwa perkawinan di bawah umur merupakan permasalahan yang serius, dan perlu diatasi dan dicegah guna menghindari dampak buruk yang berkepanjangan.

Berdasarkan survei BPS bersama UNICEF Indonesia, beberapa wilayah yang merupakan kantong pernikahan anak antara lain Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Jika dikaitkan dengan kasus di atas, kasus perkawinan anak terjadi di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi memang masih banyak wilayah dengan angka perkawinan anak di bawah umur yang tinggi.

Dalam sesi diskusi, salah satu peserta dari Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Zumrotin K. Susilo mengatakan usaha untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas, dan bebas diskriminasi gender adalah dengan mengakhiri pernikahan anak di Indonesia.

Sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs), Zumrotin melanjutkan, pernikahan anak juga akan  berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. “Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi,” kata Zumrotin. Tak hanya itu, pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak.

Di sisi lain, banyak pihak yang menginginkan adanya revisi undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengenai pernikahan. Hal ini disebabkan terlalu longgarnya regulasi sehingga pernikahan anak usia dini tumbuh suburnya. Salah satu pasal krusial yang didorong dilakukan revisi adalah pasal Pasal 7 ayat (1) terkait batas umur pernikahan. Menurut pasal tersebut batas minimal usia perkawinan adalah perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi pernikahan ini yakni memastikan bahwa anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan, lalu  menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan. (dwi)

Sumber : KemenkoPMK

Ramadhan Kareem

Pos terkait