Oleh Rosyita Hasan
Ibu Neneng (53) tersenyum sumringah, buah Theobroma Cacao berwarna kuning keemasan bersinar diterpa sang mentari menjelang siang. Sejenak, ia palingkan pandangan ke sosok yang tengah berpeluh, menyiang rerumputan yang mengganggu pohon Kakao mereka di halaman belakang rumah. Pak Parjo (54), begitu ia akrab disapa, melambai ke arah sang istri dan tersenyum seakan berkata, “inilah harapan kita”.
Dua puluh tiga tahun lalu, Bu Neneng dan Pak Parjo memutuskan ikut program transmigrasi ke Pulau Sumatera, tepatnya di Riau. Pasangan yang sudah dikarunia dua orang anak kala itu, menginjakkan kakinya di Desa Pelambaian, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Begitu dinamai desa yang menjadi harapan kehidupan baru untuk pasangan yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah ini.
Tak teringat kampung halaman nan dingin nun di tanah periangan, Bu Neneng gigih turut membantu dan mendampingi sang suami membesarkan anak-anak mereka, berharap untuk sebuah masa depan yang cerah.
Angin semilir menerpa beranda belakang rumah bu Neneng. “Sungguh kami syukuri kerja keras ini. Perkebunan sawit dua hektare program pemerintah membuahkan hasil yang sangat melimpah. Anak-anak kami sudah sarjana dan masing-masing telah pula berumah tangga pula, Alhamdulillah,” kabarnya gembira kepada majalah Outsiders mengisahkan perjuangan sang suami yang mengantarkannya menjadi seorang petani dan tauke sawit.