Untuk negeri bernama Natuna

.

Oleh Rosyita Hasan

.

Pertama  membayangkan Natuna, hanya terbersit yang indah-indah saja. Dibalik itu, ternyata tersimpan sejuta arti bagi Indonesia.

“Siapa yang mau ke Natuna?” tanya salah satu temanku melalui percakapan saluran telepon selular.

“Aku,” jawabku singkat.

“Tidak boleh,” sebutnya dari seberang.

Percakapan berlanjut, dengan kesimpulan aku harus menemui teman-teman di Pulau Batam terlebih dahulu. Mereka akan berkumpul seakan ingin menyidangku, bentuk kerisauan bersampul ingin menahanku di Batam.

Pulau Batam tak juga asing bagiku,  jejak-jejak sebagai jurnalis terekam nyata di pulau berpenghuni beragam suku ini. Tak pelak, Batam yang sudah kutinggalkan sejak 10  tahun yang lalu ini menjadi rumah keduaku sebagai jurnalis setelah Pekanbaru.

Tiba di Batam, aku digiring ke sebuah pertemuan. “Kami meminta kamu membatalkan niat ke Natuna. Kami sudah menyiapkan pekerjaan yang cocok untuk kamu di sini,di Batam,” sebutnya sedikit ada nada penekanan.

Aku menatap satu persatu mengelilingi meja panjang itu. “Ada apa sebenarnya,” sambutku sambil sedikit tergelak.

“Kami serius, kamu tinggal bilang mau kerja di mana di Batam ini?” sebut seseorang yang kupanggil abang diantara enam orang lainnya.

“Aku tidak mungkin membatalkan, aku sudah tanda tangan. Tidak mungkin bukan? Lagian aku memang ingin melihat yang indah-indah saja saat ini,” sebutku sok lugu. Dalam hati, aku berharap semua yang di meja ini percaya dengan mimik muka yang kubuat sesedih mungkin.

Semua terdiam, terlihat terbawa dengan ekpresi wajahku. “Kalaupun kamu lagi sedih, janganlah ke sana. Please…” masih mencoba merayuku.

“Ini sudah tawaran ke dua kalinya, tak mungkin aku tolak lagi,” ungkapku sambil menyerut teh manis  hangat Abang tertua.

Itulah awal aku menginjakkan kaki ke Natuna, Si Pulau Terdepan, dengan segala pesonanya seperti magnet kutub yang mampu menyedot berjuta- juta keingintahuan, menggelitik setiap denyut nadi memaksa diri untuk tidak pernah diam mencari petualangan baru seperti menhantarkan jiwa raga dengan idialisme kebangsaan yang begitu tinggi.

Pos terkait