Emas Coklat di Pulau Midai

Oleh Rosyita Hasan

Gelombang memecah dan mengayun lembut  tiada pasti di tengah Laut Natuna Utara. Hati kian tiada terpatri, bak lautan tiada bertepi’

Pundakku ditepuk pelan.“Hai, Syita, kamu dipanggil bapak,” ujar teman seperjalananku.

Bacaan Lainnya

Aku segera menoleh, “Iya, pak,” jawabku sedikit memperbaiki jilbab.

“Kamu melamun, ya? Kamu biasa dipanggil Ros atau Sinta?”  tanya salah seorang pejabat penting di Kabupaten Natuna ini, yang duduk bergabung dengan kelompok jurnalis dalam perjalanan laut menuju Pulau Midai.

 “Syita, Pak, bukan Sinta,”  ujarku pelan dan kurasakan suaraku sedikit terbawa angin.

“Kalau begitu bapak panggil Sinta saja, ya?” sebutnya sambil tersenyum.

“Baik, pak,” gegasku.

Sejenak kemudian, aku seakan tertarik kembali ke dalam lamunan. Ayunan gelombang laut Natuna Utara turut melenakan pikiran pada percakapan dengan seseorang yang katanya mampu melihatku berada di Pulau Senua dari Bukit Senubing.

Saat itu aku tergelak, “Jangan coba-coba, nanti kulapor sama Bapak,” ancamku sambil melotot berjalan mengelilingi stasiuan Bakamla yang berada di kawasan Bukit Senubing di pantai timur Kota Ranai, Kabupaten Natuna. Ia nampak tertawa lama mendengar ancamanku.

“Ah, itu luka lama,” jawabku enggan.

“Tapi aku juga tidak mau luka baru,” kembali pandanganku nanar  jauh nun ke Pulau Senua, pulau terluar terdekat di Natuna Island.

“Jadi?” ucapnya pelan seolah berharap jawaban pasti.

“Pulau Midai saja mampu berdiri hingga kini, walaupun tonggaknya patah satu,” jawabku ngambang.

Lamunan buyar, seiring sayup terdengar seseorang menyebutkan kapal hampir sampai. Dari dalam kabin, Pulau Midai yang berada di tengah Laut Cina Selatan sudah kelihatan. Pulau yang mengukir kemakmuran masa lalu dengan sejarah koperasi Ahmadi & CO Midai yang dibentuk tahun 1906 ini, juga pernah dikunjungi Bapak Koperasi Bung Hatta pada 1954.

****

Pelan- pelan kutapaki jalan mendaki sambil menikmati aroma rempah yang terpancar dari bunga cengkeh. “Inikah pohon Cengkeh?” gumamku dan mulai tersadar kalau aku ketinggalan rombongan.

Detik berikutnya aku mulai mempercepat langkah menyusul rombongan menyusuri  perkebunan cengkeh yang terletak di kawasan perbukitan, bukan gunung, seperti biasa disebut masyarakat Midai.

Sesekali mataku mengarah kepada petani yang tengah berada diatas pohoh memetik cengkeh menambah kentalnya suasana perkebunan kurasakan kala itu.

 “Mau coba memanjat?,” ujar salah seorang petani yang berada di atas pohon dengan suara nyaring dan tersenyum ke arahku.

Aku tertegun, “Ah, tidak!,” jawabku setengha berteriak untuk memastikan jawabanku dapat didengarnya dengan jelas.  Naluri jurnalisku spontan mengarahkan kamera yang tersandang di pundak untuk mengambil momen langka panen cengkeh tersebut sebagai satu sisi kehidupan masyarakat Pulau Midai.

Walau terpencil,  Pulau Midai sudah terkenal sejak dahulu sebagai penghasil  cengkeh atau dalam bahasa latin disebut Eugenia Aromaticum dan orang setempat menyebutnya emas coklat.

Tak heran,  Midai sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepualauan Riau  ini, sudah terkenal sejak awal di seantero Nusantara hingga mancanegara.  

Slogan ‘Laut Sakti Rantau Bertuah’ tertera pada lambang negerinya yang dihiasi daun cengkeh dua belas helai berwarna hijau daun dan sepuluh buah bunga cengkeh berwarna coklat muda melambangkan tanggal dan bulan terbentuknya kabupaten perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di gerbang utara Indonesia.

Daun dan bunga cengkeh laksana padi dan kapas yang tertanam di benak sejak masuk sekolah dasar akan makna Pancasila, terpatri kuat dalam ingatan pertanda kemakmuran.

“Masyarakat Midai tak disangsikan mendapat berkah kemakmuran tiada terkira dari panen cengkeh,” ujar Suharto (45), lelaki yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya ini untuk mencoba mengais rezeki di tanah daratan.

Dulu, kenang lelaki yang memiliki nama seperti mantan Presiden RI ini, masyarakat Midai sangat makmur dan menikmati kesenangan tiada bandingan, “Mencuci tangan saja dengan bir,” ujarnya mengibaratkan.

Ungkapan Suharto, soal kemakmura Midai sungguh bukan hanya sekedar kiasan saja. Ia berkisah, anak-anak Midai yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di tanah Jawa kala itu, kalau mau mereka bisa saja tinggal di hotel, bukan di tempat kos.

“Boleh tanyakan dengan orang-orang tua di Midai,” dengan wajah serius mencoba meyakinkanku.

Cerita itu kini terpampang di depan mata, sejurus mata memandang di perbukitan, pohon cengkeh  berbaris mengawal bukit demi bukit di Pulau Midai seperti membentuk benteng perekeonomian. Perjalanan ke Pulau Midai seakan menjadi kilas balik kisah Suharto.

Sebuah tempat duduk panjang terbuat dari kayu, seakan merayu untuk sekedar mengusir penat. “Ah, andai saja dia ada di sini,” gumamku halus.

Kesunyian tiba-tiba menyeruak ke permukaan perbukitan ini. Kenapa pikiranku melayang ke Ranai?

Kucoba menghirup bebauan dari bunga cengkeh, lenyapkan gelisah yang melanda.

Sekilas melintas tanda di dalam benakku. “Apakah dia adalah orang yang tepat bagiku?”

Sekelebat bayangan wajahnya terpatri jelas pada ruang berfikirku.

 “Melangkahlah denganku, aku ingin meminangmu,” tatapnya semakin tajam ke arah mataku kala itu.

Tarikan nafas panjangku menyerumput bau cengkeh, memberikan rasa nyaman.

“Pikirkanlah dengan tenang, aku akan ke Jakarta lusa,” pemilik raut wajah menenangkan itu berucap berat dan terlihat sangat berharap jawaban pasti dariku.

“Tentu saat ini dia sudah terbang,” bisikku lirih, namun pikiranku kembali melayang pada raut wajahnya yang terakhir kali kulihat  saat mengantarku ke pelabuhan.

Serta merta mataku tertuju ke layar ponsel, namun belum terlihat satupun pesan masuk.

“Ah, kenapa aku memikirkannya?” batinku mencoba mengusir sedikit rasa yang mulai menyeruak menyegarkan bunga layu dalam hatiku

Bau cengkeh semakin terasa kuat.

“Hei, nona,  melamun terus, sampai hilang dari peredaran. Nih, bunga cengkeh, panen besar petani cengkeh tahun ini,”  ujar Tiro, teman seperjuanganku, membuayarkan lamunan.

“Alhamdulillah kalau begitu, tentu pencari upah sebagai pemanjat akan semakin besar,” jawabku lugas untuk mengalihkan keterkejutanku.

Pemanjat di salah satu pohon cengkeh yang mendengar percakapan kami menyahut. ”Betul, kami akan membawa pulang upah lebih besar dari tahun lalu,”  sebutnya sambil turun dari pokok cengkeh dan kemudian menghampiri kami.

“Ini tahun keberuntungan kami, tak sia-sia kami datang ke Midai untuk mengambil upah,”  ungkap Soleh (32) warga Ranai yang sengaja datang ke Midai dengan raut wajah gembira.

Perjalanan ‘emas coklat’ hingga ke Pulau Midai yang bertepatan pula dengan musim panen. Tak jauh, Pulau Midai dapat ditempuh dalam waktu empat hingga enam jam dari Pelabuhan Selat Lampa, sebuah pelabuhan yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Riau sebelum pemekaran menjadi Provinsi Kepulauan Riau.

Dua kapal siap menjadi pilihan, yakni dengan menaiki KM Bukit Raya atau kapal perintis KM Sabuk Nusantara 30 melalui Pelabuhan Penagi. Namun jika ‘menumpang’ ferry Pemerintah Daerah (Pemda) Natuna yang selalu digunakan oleh bupati untuk mengunjungi pulau-pulau dapat menghemat waktu hingga 100 persen, yakni sekitar tiga jam perjalanan.

Para pemanjat pohon cengkeh ini akan bertahan di pulau kecil itu dengan hanya keliling 18 km2 tersebut sepanjang musim cengkeh. “Tahun ini sebenarnya bukan musim panen besar, tapi musim panen kecil,” sebutnya sambil merinci ia mengambil upah memanjat pohon cengkeh untuk memetik buah cengkeh sebesar Rp6.000/kg.

Musim panen besar datang sekali dalam tiga tahun, seperti dituturkan Edra (42) petani cengkeh dengan logat Melayu Kepulauan yang sangat kental. “Tahun lalu, 2011,” ujarnya. Sayang, pada saat cengkeh melimpah pada musim panen besar, hargapun sempat jatuh. Namun, musim itu tidak berlaku bagi Edra.

“Sebaliknya, pohon cengkeh kebun kami malah tidak berbuah,” ujarnya. Sementara di awal tahun 2012, sebanyak 2000 batang pohon cengkeh milik Edra mulai berputik. “Tidak semua pohon berbuah,” akunya.

Gunung di Pulau Midai dipenuhi pohon cengkeh. Sebenarnya sebutan gunung hanya sebuah bukit dengan beragam nama. “Banyak gunung di Midai,” sebutnya tersenyum seakan menghibur langkah mendaki yang sedikit menguras tenaga. Namun, suasana sejuk begitu ramah menyambut seakan mengusir suhu tubuh yang kian meningkat dan mengucurkan peluh.

“Banyak tamu yan berkunjung ke Midai, mereka selalu menyempatkan untuk ke gunung, karena kesejukan di gunung apalagi ada aroma cengkeh jika bertepatan musim panen seperti saat ini,” kicaunya tak henti. Sejenak, petani yang berharap panen kali ini bisa meraup pundi-pundi rupiah berdiri di satu pohon cengkeh yang berumur sekitar 80 tahun lebih.

“Coba ibu lihat, ada semacam lumut yang hidup di batang cengkeh ini. Biasanya kami kikis untuk membersihkannya,” jelas Edra yang menduga lumut inilah yang menjadi ‘penyakit’ sehingga menyebabkan hasil panennya mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal senada diungkapkan pula oleh Ibrahim (45), Kecamatan Midai yang merupakan daerah penghasil cengkeh terbesar di Kabupaten Natuna.

“Hasil panen kami mengalami penurun setiap tahunnya, ini disebabkan kami tidak berani dalam memberikan pupuk,” keluhnya.

Selanjutnya, ia mengungkapkan petani kebanyakan takut untuk memberikan pupuk. “Mereka takut tanamannya mati karena pemupukan yang tidak diketahui takarannya,” jelasnya. Karena itu, petani cengkeh mohon dinas terkait memberikan perhatian dalam bentuk penyuluhan.

“Kami takut tanaman kami mati, karena tidak mengetahui takaran yang pas dalam memberikan pupuk,” paparnya. Ibrahim yang memiliki kebun cengkeh 30 batang dengan jarak delapan meter setiap batangnya dengan hasil panen 300 kg/tahun.

“Itupun sekarang hasilnya sudah menurun, bahkan kadang dalam setahun beberapa batang tidak berbuah. Selain produksinya menurun, tetapi juga daun pohon cengkeh tampak layu,” papar Ibrahim dengan raut wajah kelihatan gusar.

“Kegusaran yang berbeda,” batinku. Kenapa tidak ada kabar darinya? Apakah dia sengaja, agar aku bisa berpikir secara benar? Ah..kenapa aku jadi kacau begini. Huuuuuhhh…andai tidak ada orang di gunung ini, aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Semerbak bau cengkeh yang sampai ke Eropa sana tidak mampu menenangkan batin yang kian gundah gulana.

**************

Sedikit lagi memasuki tahun kesepuluh. Kisah ini belum terjawab. Kuhitung sudah tiga kali aku menguap saat berusaha menukan jawaban perjalan hidup ini, namun belum kutemukan juga. Seperti emas coklat semakin tak berkilau di Pulau Midai. Tiada asa yang mampu menebarkan kegemilangan kemakmuran di sana.

“Prediksi dari penyuluh  lima tahun ke depan, cengkeh di Midai akan punah,” ucap Nita (42) sambungan telepon seluler dari seberang. Nita penduduk Pulau Midai ini berucap, sudah lima tahun terakhir  produksi cengkeh di Midai terus menurun.

“Hargapun sudah turun hingga separuh, ekonomi Midai jauh merosot. Sekarang pohon Cengkeh banyak yang mati,” suara Nita semakin menjauh dan sambungan telponpun terputus. Sinyal tampak tidak bersahabat. Pulau Midai di tengah lautan Natuna Utara semakin sayup, namun aroma emas coklat menjadi ingatan emas yang tak lekang dalam ruang teristimewa dalam benakku.

Ramadhan Kareem

Pos terkait