Aku diantara satu juta itu

Oleh Rosyita Hasan

Termenung.  Tak mampu bicara. Sejenak aku terhenyak dan tubuhku seperti melayang, sementara suara dokter Evi Muchlis, Kepala Puskesmas Garuda, mulai sayup terdengar seolah menjadi penyebab berhentinya bumi ini berputar pada garis edarnya.

Bacaan Lainnya

“Halo, halo, Ibu masih bisa mendengar saya?” ujar suara dari seberang sana.

Aku mengeratkan cengkeraman pada ponselku yang terasa mulai melemah dalam genggaman. “Ya, bu, lanjutkkan, bu,” ujarku kepada dokter Evi.

“Baiklah, kemudian berdasarkan hasil polymerase chain reaction atau PCR yang telah kami terima dari laboratorium, tidak hanya ibu,  namun dua putri ibu juga terkonfirmasi positif COVID-19,” ucapnya sambil membacakan nama- nama kedua putriku lengkap dengan biodata mereka sebagai konfirmasi untuk validasi data personal.

Kepalaku seperti mendapat hantaman godam ratusan kilo demi mendengar penjelasan lanjutan dokter Evi. Apa yang diucapkannya melalui sambungan ponsel sudah tidak lagi dapat aku tangkap dengan baik. Fikiranku jauh melayang entah kemana. Hal yang kutakuti selama ini telah menjelma dalam kenyataan dan benar- benar terjadi.

“Silahkan ibu putuskan, ingin isolasi mandiri atau dapat mengajukan isolasi pada tempat- tempat yang telah disediakan pemerintah. Nanti kami akan memberikan rujukan melalui Puskesmas di kecamatan tempat ibu berdomisili. Hal terpenting adalah ibu harus tetap kuat dan jangan cemas karena dapat menurunkan imun tubuh sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan,” demikian dikatakan dokter Evi sebelum mengakhiri percakapan.

Ingatan kembali ke awal pandemi COVID-19 mulai bergejolak di Indonesia sekitar awal Maret 2020. Apa lagi ketika data sebaran di tanah Jawa mulai meningkat tajam. Hanya satu yang terpikir kala itu, anak gadisku, Si Sulung yang tengah menuntut ilmu pada salah satu pesantren di Ponorogo, Jawa Timur.

Tak terbayangkan bagaimana Si Sulung harus kembali ke Pekanbaru saat liburan, sementara pembatasan penerbangan dari Jawa ke Sumatera sudah mulai diberlakukan. Takut ia tertular saat proses pemulangan tak pelak membuat hari- hariku kala itu dipenuhi dengan kegusaran.

Berbagai persiapan kulakukan untuk menyambut kepulangannya. Sebuah skenario isolasi mandiri bagi putri sulungku, aku tata dengan rapi meskipun belum ada kewajiban dari pihak pemerintah bagi orang yang baru saja melakukan perjalanan jauh. Semua kulakukan demi menjaga kesehatan dua anakku yang lain, Si Tengah dan Si Bungsu, dari satu persen kemungkinan tertular COVID-19.

Si Sulung tiba di Pekanbaru, namun aku belum dapat bermesra melepas rindu dengannya. Jangakan mencium pipinya atau memeluk erat tubuhnya yang kini lebih tinggi dariku, menyentuh ujung jarinya saja aku belum berani. Semuanya kulakukan karena patuh terhadap protokol kesehatan. Betapa kami harus terpisah, ia kutempatkan pada salah satu ruangan kantor Majalah Ousiders di Jalan Cempedak, sementara aku tetap di rumah bersama dua putriku lainnya.

Dari pagi hingga lepas Magrib aku menjaga Si Sulung dan memenuhi segala kebutuhannya, malam baru aku kembali ke rumah untuk beristirahat. Komunikasi yang kami lakukan selama empat belas hari dibatasi selembar pintu saja. Hanya suara yang terdengar, tanpa dapat melihat dirinya yang bercerita berbagai pengalaman dan keluh kesah selama di pesantren.

“Mama menangis?” ujarnya suatu kali ketika suaraku mulai berubah saat bercerita dari balik pintu.

Pos terkait