Mendengar nama Cirebon, ingatan akan langsung tertuju pada nikmatnya olahan udang, salah satunya adalah terasi (belacan). Pesona kota pinggir laut ini memang tidka bisa lepas dari hasil laut. Namun, di balik hasil laut, kota ini menyimpan beragam peninggalan sejarah yang masih bisa disaksikan hingga saat ini. Keraton, ini yang menjadi salah satu di antara beragam daya tarik kota ini. Memiliki empat keraton dalam satu kota menjadikan kota Cirebon terasa makin istimewa, tiga di antaranya sudah dikenal luas yaitu, keraton Kasepuhan, keraton Kanoman, keraton Kacirebonan, dan satu keraton yang yaitu keraton Kaprabonan yang luput dari perhatian publik. Sebelum memasuki komoleks keraton, di sebelah barat terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar, sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya.
Namun dari empat keraton tersebut yang paling banyak dikunjungi adalah kareton Kasepuhan. Menempati lahan seluas kurang lebih 25 hektar, di Jalan Keraton Kasepuhan 43, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, kota Cirebon. Keraton ini sudah berdiri sejak tahun 1529. Kemegahan keraton ini didukung oleh museum benda-benda kuno warisan keraton yang cukup lengkap. Koleksinya yang terkenal adalah Kereta Singa Barong, merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati yang hanya dikeluarkan setiap 1 Syawal untuk dimandikan, selain itu terdapat banyak koleksi senjata keraton mulai dari keris hingga tombak dan banyak lagi.
Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan
Mengutip berbagai sumber, keraton Kasepuhan ini memiliki dua kompleks bangunan, pertama Dalem Agung Pakungwati yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1430 M, dan kompleks Keraton Pakungwati yang didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Zainul Arifin. Keraton Pakungwati adalah cikal bakal berdirinya Keraton Kasepuhan. Pakungwati diabadikan sebagai nama keraton berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Pada 1529, Pangeran Mas Zainul atau Panembahan Pakungwati I yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati berinisiatif membangun keraton baru di sebelah barat daya keraton lama.
Menilik sejarahnya, pada 1677 di Kesultanan Cirebon terjadi konflik internal yang disebabkan oleh perbedaan pendapat di kalangan keluarga kesultanan mengenai penerus kerajaan. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga, yaitu Kesultanan Kanoman, Kesultanan Kasepuhan, dan Panembahan Cirebon. Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan Anom I, Kesultanan Kasepuhan diberikan kepada Pangeran Martawijaya yang bergelar Sultan Sepuh I, dan Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan di Cirebon. Mulai saat itu, Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan. Sementara Keraton Kaprabonan merupakan pecahan dari Keraton Kanoman karena terjadianya perselisihan.
Menikmati Kemegahan Keraton Kasepuhan
Sekeliling komplek keraton Kasepuhan ini dikelilingi kuta kosod (susunan bata merah) setinggi + 2 m bertebal + 60 cm, dan posisi keraton menghadap ke utara, dengan pintu keluar masuk juga berada di sebelah utara. Konon dahulunya, ketika kali Kriyan (sungai Krayan) masih berfungsi sebagai prasarana tranportasi air, di sebelah selatan juga ada pintu keluar masuk, yang disebut Lawang Sanga.
Keraton ini memiliki dua pintu gerbang, yaitu pintu gerbang utama keraton berada di sebelah utara dan pintu gerbang kedua terdapat di selatan kompleks keraton. Kreteg Pangrawit (bahasa Indonesia: jembatan baik) merupakan sebutan untuk gerbang utara berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut lawang sanga (bahasa Indonesia: pintu sembilan). Setelah pengunjung melewati Kreteg Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton, di bagian ini terdapat dua bangunan yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
Bangunan Pancaratna berada di kiri depan kompleks arah barat yang berfungsi sebagai seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa yang diterima oleh Demang atau Wedana. Pancaniti adalah jalan atasan, merupakan pendopo sebelah timur yang merupakan tempat para perwira keraton melatih para prajurit ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun dan sebagai tempat pengadilan.
Melirik ke dalam kompleks Siti Inggil merupakan yang pertama menajdi pusat perhatian Keraton Kasepuhan ini. Terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada jaman Majapahit, bangunan ini telah sejak tahun 1529. Mande Malang Semirang, bangunan utama yang terletak di tengah dengan tiang utama berjumlah 6 buah. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Berikutnya adalah Mande Pendawa Lima, yang memiliki jumlah tiang penyangga 5 buah, bangunan ini merupakan tempat para pengawal pribadi sultan.
Kemudian terdapat Mande Semar Tinandu, bangunan dengan 2 buah tiang berfungsi sebagai tempat penasehat Sultan. Mande Pengiring, merupakan tempat para pengiring Sultan. Mande Karasemen, merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Melanjutkan langkah menuju bangunan kompleks Keraton, siapapun akan disambut dengan gapura bergaya Majapahit. Setelahnya, persis berada disebelah kiri jalan masuk terdapat museum keraton. Persis di halaman bangunan utama keratorn terdapat taman, yang dikenal dengan nama taman Dewandaru atau taman Bunderan Dewandaru karena bentuknya yang melingkar. Dewandaru atau Dewadaru dalam bahasa Cirebon dapat diartikan sebagai Pinus Dewadaru. Pada taman ini terdapat pohon Soko (lambang suka hati), dua buah patung macan putih (lambang keluarga besar Pajajaran), meja dan dua buah bangku serta sepasang meriam yang dinamakan meriam Ki Santomo dan Nyi Santoni.
Bangunan utama keraton Kasepuhan hingga saat ini masih menjadi tempat tinggal keluarga keraton, yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja. Namun sayang, pengunjung tidak dibenarkan memasuki bangunan utama ini. Pada bagian paling belakang Keraton Kasepuhan terdapat Keraton Pangkuwati. Keraton ini merupakan bangunan pertama yang dibangun Pangeran Cakrabuana selaku Kuwu. Kuwu merupakan sebutan bagi pemerintah yang turut menyebarkan Islam di Cirebon. Jika ingin mengetahui lebih jauh, pengunjung juga dapat merasakan petilasan peninggalan Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati. Semua bangunan dan berbagai koleksi yang ada masih terjaga dengan sangat baik.
Sebagai sebuah keraton, juga berfungsi sebagai tempat pelestarian budaya, dan masih mengadakan berbagai acara tradisi yang diselenggarakan setiap tahun. Salah satunya adalah acara Panjang jimat, yaitu acara yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pengunjung yang berasal dari luar pulau Jawa, Keraton Kasepuhan Cirebon ini saya rasa sangat layak direkomendasikan untuk untuk dikunjungi, karena lokasinya yang berada di tengah kota dan mudah di akses. Waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi keraton tidak terlalu lama, termasuk mengelilingi museumnya ini paling cepat memerlukan waktu 45 menit sampai dengan 1 jam, jika ditambah dengan merasakan petilasannya maka dibutuhkan waktu hanya sekitar 1 jam 30 menit hingga 2 jam saja. Buka dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 WIB. Jika memerlukan pemandu, pihak pengelola menyediakan jasa pemandu dengan bayaran wajar seikhlasnya. Harga tiket juga sangat terjangkau, Rp 15.000 untuk umum, pelajar Rp 10.000, museum pusaka Rp 25.000 dan Dalem Agung Pakungwati (untuk petilasan) Rp 10.000. Cukup terjangkau bukan??
Oleh winbaktianur
Pemerhati Pariwisata & Budaya
email : winbaktianur1978@gmail.com