Anak Seribu Parit (I)

Oleh Rosyita Hasan

Pandanganku nanar menatap sebuah peta usang berukuran cukup besar. Pelan kubuka lipatan peta yang tersimpan di sebuah kotak berdebu itu. Seketika ingatanku kembali ke masa 18 tahun lalu.

Adalah Universitas Kiel, didirikan seorang bangsawan Jerman bernama Christian Albrecht tahun 1665, berlokasi di kota Kiel,  pesisir Jerman, telah terencana menjadi destinasi studiku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana. Kota maritim ini berada di utara Jerman, tepatnya Jutlandia bagian tenggara dan pesisir barat daya Laut Baltik.

“Cita-cita yang terkubur oleh peristiwa tragis,” batinku demi mengenangnya.

Lahir dan besar di Kota Seribu Parit, Tembilahan, Indragiri Hilir, lalu hijrah ke Pekanbaru setelah lulus dari SMA Negeri 1 Tembilahan. Lelah  melanglang buana ke sejumlah tempat saat berkarir, akhirnya  kuputuskan menetap kembali di kota Pekanbaru hingga usiaku genap 46 tahun pada 2021. Ayah dan omak, hanya tersisa kenangan indah bersama mereka karena keduanya telah menghadap Sang Khalik. Mereka berdua berasal dari Kabupaten Kuansing, merantau ke Kabupaten Indragiri Hilir, mengelilingi pulau-pulau terpencil di sana untuk mengajar di Sekolah Dasar dan guru mengaji.

Ayah & Umak serta kakak sulung, Sukawati

Almarhum Hasan Basri, sosok ayah yang banyak menularkan prilaku bermasyarakat dengan balutan budi pekerti, membuatku tak sulit dalam pergaulan karena keramahan kekuatan mental beliau dalam menapaki kehidupan seakan menjadi pengaruh terbesar dalam hidupku yang terduplikasi secara alami.

Sementara, sosok Siti Sarah yang membesarkan dengan kelembutan kasih sayang, menjadikanku wanita dengan watak tidak hanya berpangku tangan untuk mendapatkan rezeki lebih. Omak, demikian aku menyebut beliau, selalu mengajarkan kepadaku bagaimana kelak harus menjadi perempuan tangguh dengan memanfaatkan keterampilan untuk menambah pundi- pundi ekonomi. Apa yang diajarkan omak kumaklumi karena zaman itu gaji pegawai negeri tidak begitu besar sehingga beliau memanfaatkan kepiawaiannya sebagai penjahit baju untuk menambah pemasukan keluarga.

Sebagai si anak bungsu, aku tidak mengalami masa-masa sulit. Apalagi aku dikenal sebagai ‘anak ayah’.  Hari-hari kunikmati dengan kebahagiaan. Ikut ayah duduk ngopi di kedai Maya Sari Kota Tembilahan, sambil menyantap roti bakar khusus dibuat pemilik kedai untukku, adalah kenangan terindah bersama ayah. Apa lagi saat pulang ke rumah, ayah akan membekaliku kacang goreng berbungkus sobekan kertas koran. Rutinitas ini selalu kutunggu setiap pagi Ahad bersama beliau.

Didikan nuclear family membuatku  ingin segera mengaplikasikan seluruh ilmu yang kudapat dalam kehidupan nyata setelah usai kuliah. “Aku harus berkarir untuk mengujinya,” demikian tekadku.

Pembuktian pertama kulalui dengan menjelajah Kota Batam sebagai jurnalis muda untuk sebuah perusahaan pers. Meski teori dan praktek tidak begitu singkron, namun aku merasa mampu menghadapi tantangan diawal merintis karir. Mungki karena masih muda sehingga lebih banyak suka ketimbang duka kurasakan.

Sesekali aku teringat pada satu sosok yang selalu membakar semangatku untuk berprestasi. Motivatorku, demikian aku mematrikan sosok tersebut dalam ingatan. Ia adalah adik sepupu dari omak yang dibesarkan bersama. Meskipun sebatas saudara sepupu, omak pernah menyebut bahwa mereka sudah seperti saudara kandung.

Pamanku, Minsar Rasyid bersama istri tercinta

Jarang – jarang masa itu seorang anak kampung bisa melanjutkan kuliah hingga ke perguruan tinggi. Tidak tanggung – tanggung, Pamanku bisa menyelesaikan jenjang sarjananya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan membawa gelar Sarjana Hukum ketika kembali ke kampung.

Mamak Minsar Rasyid, begitu aku menyebutnya, merintis karir dari nol hingga memiliki jabatan cukup mapan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Terakhir ia sempat menjabat sebagai Sekda Kabupaten Bengkalis.

Hal yang tak pernah kulupakan tentang beliau adalah saat ia kritis menjelang hayatnya. Kala itu satu per satu anggota keluarga mendekati tempat tidur dimana ia terbaring lemah. Saat giliranku, ia sempat membisikkan kalimat terakhir penuh makna ke telinga.

“Jangan jadi orang bodoh,” ujar mantan pimpinan APDN Pekanbaru itu menjelang detik- detik kepergiannya menghadap Sang Ilahi.

Ini kalimat tajam yang melekat dibenakku hingga kini. Aku tak mau dipandang remeh, apalagi dipandang sebagai orang bodoh.

Kalimat itu pula trigger penyemangatku menggapai pendidikan lebih tinggi hingga terfikir melanglang buana menembus Eropa melanjutkan studi.

Meski beliau tak sempat menyaksikan tali togaku berpindah posisi sebagai pertanda aku menyelesaikan S1 di Fakultas Perikanan Univerisitas Riau, pesannya tak pernah terkikis sedikitpun.

Bila aku rindu, kadang kulintasi rumah beliau di Komplek Nyamuk

Ramadhan Kareem

Pos terkait