Oleh Rosyita Hasan
Tatapanku menjurus tajam bak mata Pernis Ptilothynchus, si elang laut, melintas perbatasan Selat Malaka menuju satu titik ke arah Port Dickson, Malaysia. Negeri seberang itu tidak jauh, hanya 48, 5 kilometer dari tempatku berdiri, di atas mercusuar bertangga dua belas dengan tinggi 50 meter nan tegak kokoh sebagai penjaga Pulau Terluar Indonesia, di Rupat Utara.
Orang Rupat Utara menyebutnya tiang api, demikian mereka menamai mercusuar bantuan Jepang itu. Tiang api ini bersanding sejajar dengan menara radar yang memiliki tinggi 85 meter dan juga merupakan hibah Pemerintah Jepang. Keduanya seperti menara kembar seakan saling menjaga demi keamanan laut Indonesia di Selat Malaka sebagai pengirim sinyal pertahanan di wilayah perbatasan tersebut.
Pulau Rupat masuk wilayah Kabupaten Bengkalis, terdiri dari dua kecamatan, yakni kecamatan Rupat dan Rupat Utara dengan 5 kelurahan dan 19 desa. Berdasarkan data 2020, jumlah penduduk mencapai 48.980 jiwa, tersebar dengan luasan mencapai 1.504,46 Km2. Mayoritas masyarakat Rupat dengan persentase 60 persen berkerja sebagai nelayan, bidang pertanian dan perkebunan sebanyak 25 persen, perdagangan dan jasa hanya 20 persen, lain-lainnya diangka 5 persen.
Tak ingin berlama- lama berada diatas menara, aku mulai menuruni anak tangga beranjak menuju pasir pantai. Teringat ketika pertama kali menjejak telapak kaki di pulau ini, sungguh aku jatuh cinta terhadap alamnya. Hamparan tepian laut dengan pasir putihnya menjulur panjang mencapai 17 km. Melintasi Desa Teluk Rhu hingga Desa Tanjung Punak, 12 km antara Pantai Pesona dan Pantai Lapin.
Suatu kali saat melepas percakapan dengan Atuk Husin, salah seorang pemilik home stay di tepian Pantai Pesona, ia bercerita kalau masyarakat Rupat Utara rata- rata memiliki banyak kerabat menetap di negeri semberang, tepatnya di seputaran Port Dickson, Malaysia.
“Anak saya ada tujuh orang tinggal di sana dan semuanya sudah menjadi warga negara Malaysia. Sayangnya sejak wabah Covid-19, hampir tiga tahun ini, baik saya maupun anak- anak tidak dapat saling berkunjung. Rindu lah memang, tapi apa mau dicakap?”, ujar pria yang hampir berusia 76 tahun tersebut dengan dialek Melayu- Rupat membuka percakapan.
Aku terus bertanya kepada Atuk terkait seberapa dekat hubungan Rupat dan Malaysia menurut versinya. Sambil meneguk teh manis, ia sedikit terkekeh memperlihatkan gigi depannya yang mulai habis dimakan usia.
“Kalau orang Port Dickson masak Canai, bau karinya langsung bisa tercium oleh kami di Rupat ini,” ungkap Atuk mengibaratkan sebegitu dekatnya negeri seberang tersebut.
Dulu, kata Atuk, tidak diperlukan kelengkapan administrasi seperti paspor untuk berlabuh di kawasan Port Dickson. “Orang Malaysia tu dah anggap kami ni bukan orang seberang negara, tapi saudara mereka,” imbuhnya.
Masuk akal juga cerita Atuk, karena untuk mencapai bibir pantai Malaysia menggunakan speedboat, diperkirakan hanya 30 hingga 45 menit saja dari Rupat Utara. Bahkan, untuk bahan pangan kering, lebih mudah memperolehnya dari seberang ketimbang di kirim dari Dumai, kota terdekat dengan Rupat Utara.
Dalam satu diskusi dengan Bupati Bengkalis, Kasmarni, Di Vila Anting Putri, Rupat Utara beberapa waktu lalu, aku sempat mempertanyakan progres Rupat menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2011.
“KSPN Pulau Rupat dan sekitarnya ini meliputi Kecamatan Rupat Utara dan Kecamatan Rupat. Mulai dari Pelabuhan Roro Tanjung Kapal Kecamatan Rupat hingga ke Desa Titi Akar Kecamatan Rupat Utara,” kata Kasmarni.
Kasmarni dengan antusias bercerita bila pihaknya dalam beberapa tahun belakang telah menggesa pengembangan pembangunan sarana dan prasarana sebagai keseriusan pemerintah mewujudkan Pulau Rupat sebagai KSPN.
“Kebijakan pemerintah pusat harus kita dukung dengan serius dan saat ini Pemkab Bengkalis fokus membangun sarana dan prasarana, namun semuanya tentu dilaksanakan secara bertahap,” ungkap Kasmarni kepadaku.
Kasmarni menyadari bila proses untuk pengembangan Rupat sebagai KSPN tidak segampang membalik telapak tangan. Eksistensi masyarakat sebagai pelaku pariwisata tentu saja perlu dipersiapkan.
“Pariwisatan adalah sektor jasa kreatif yang tidak hanya berbicara masalah sarana dan prasarana, namun masyarakat yang akan terlibat langsung perlu dipersiapkan juga. Dalam hal ini, Pemkab Bengkalis juga melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap masyarakat agar kelak siap menjadi bagian dari KSPN itu sendiri,” katanya.
Setakat ini, keramahan masyarakat Rupat memang tidak perlu diragukan lagi dalam menjamu tamu, karena memang sudah menjadi bagian khas dan adat kebiasaan orang Melayu.
“Kita sebagai orang Melayu sudah memiliki keramahan yang melekat dalam ada istiadat, sehingga tidak perlu ragu menjadi tuan rumah untuk sejumlah objek wisata di sini, namun tentu saja perlu terstadarisasi untuk menaikkan tingkat profesionalisme dalam kepariwisataan. Disini peran Pemerintah Kabupaten Bengkalis melakukan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat. Harapannya, ketika KSPN Rupat telah terwujud secara sempurna, masyarakat tidak menjadi penoton di negeri sendiri, namun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepariwisataan tersebut,” papar Kasmarni dengan semangat.
Meski sempat terpuruk saat pandemi lalu, kini tingkat kunjungan wisatawan ke sejumlah destinasi di Rupat Utara kian meningkat. Setidaknya dapat dilihat dari tingkat hunian penginapan yang tersebar sepanjang pantai.
Akhir pekan dan hari libur, terkadang wisatawan ada yang tidak kebagian tempat menginap karena penuh. Disarankan, sebelum berangkat ke Rupat Utara, sebaiknya telah memesan terlebih dahulu.
“Penginapan memang tidak terlalu banyak, hanya belasan saja namun sudah bisa untuk menampung seribu tamu,” ujar Sekretaris Kecamatan Rupat Utara, Gauk Rizal.
Kedatangan wisatawan memang tidak setiap hari, namun untuk hari libur dan akhir pekan, dipastikan akan meramaikan pesisir pantai Rupat Utara, terutama kawasan Tanjung Medang, Pantai Pesona dan Pantai Lapin.
“Asumsi tamu yang menginap di Rupat Utara selama sebulan, diperkirakan seribuan orang. Untuk memberikan pelayanan prima kepada wisatawan, dari pihak Kecamatan melalui UPT Pariwisata Kabupaten Bengkalis, kami terus melakukan pembinaan kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata,” ujar Gauk menjelaskan.
Disebutkan Gauk, sejumlah prasarana yang dibangun Pemkab Bengkalis saat ini dalam proses penyelesaian, terutama sejumlah ruas jalan yang sempat terhenti selama pandemi. “Insya Allah dalam waktu dekat semuanya kelar,” ujarnya.
Khusus wisatawan dari Pekanbaru, pasca dioperasikannya Tol Pekanbaru- Dumai, justru sangat mempermudah akses ke Rupat. Ini pula alasanya mengapa kunjungan wisatawan ke Rupat meningkat. Namun terkadang ekstra waktu saat menunggu antrian masuk kapal Roro Dumai– Rupat.
Gauk tidak memungkiri akses masuk ke Rupat sedikit terkendala dari sisi penyeberangan roro. “Memang akses dari Dumai perlu antri agak lama karena kapal roro yang beroperasi saat ini hanya dua unit saja dan kapasitasnya tidak terlalu banyak memuat kendaraan karena disesuaikan dengan jenis pelabuhan yang ada. Inilah keluhan yang banyak kami terima dari wisatawan ketika mereka melakukan perjalanan ke Rupat Utara,” ungkap Gauk.
Dalam perjalanan ke depan, Gauk berharap semua kendala tersebut dapat teratasi seiring berjalannya waktu.
Sementara itu, Gubernur Riau Syamsuar ketika hari jadi Serikat Perusahaan Pers (SPS) Riau di Balai Serindit beberapa waktu lalu, Sabtu (11/6/2022), menyebutkan bahwa keberadaan Tol Permai membuat jarak tempuh Pekanbaru – Dumai semakin singkat dan hal tersebut berpengaruh kepada pertambahan jumlah wisatawan ke Pulau Rupat.
“Bila menggunakan jalan nasional, jarak tempuh sepanjang 200 Km, namun dengan adanya Tol Permai, sudah dipersingkat menjadi 131 Km. Dengan adanya fasilitas tol ini, diharapkan pariwisata Rupat makin berkembang,” ungkap Gubernur Syamsuar.
Hingga kini aku bersyukur Rupat Utara sudah mulai dilirik wisatawan meski dengan segala macam bentuk kesederhanaan fasilitas, namun demikian untuk menjadi KSPN, bukan lagi sekedar angan- angan, tapi sudah masuk kepada proses pembentukan dan penyempurnaan dari berbagai sisi.
Wisatawan yang berkunjung saat ini memang hanya dari seputaran Riau saja, namun beberapa tahun lagi tidak tertutup kemungkinan Rupat akan menjadi Bali jilid 2 karena kedekatannya dengan negara tetangga Malaysia sebagai pintu gerbang wisatawan mancanegara.
Impian menjadi destinasi wisata skala internasional, tidaklah menjadi khayalan semata. Aku yakin suatu masa akan terwujud. Posisi Pulau Rupat yang strategis menjadi pintu gerbang sangatlah tepat.
**********
Ponsel berdering. Dilayar muncul nama Rafidi. “Ya, Rafi, ada apa?” ujarku mulai menjawab panggilan itu.
“Speedboat sudah disiapkan, 15 menit lagi kita berangkat ke Beting Aceh, buk,” ujar Rafidi dari seberang.
Seketika aku ingat bila sore ini punya janji dengan Rafidi, anak asuhku di Teluk Rhu yang selama ini menjadi teman diskusi untuk menerapkan dan meningkatkan konsep pariwisata Rupat Utara.
Aku bergegas ke tempat biasa Rafidi menambatkan speedboat yang berjarak 8 menit perjalanan dari tempatku.
Beting merupakan timbunan pasir di tengah laut terbentuk dari proses alami hingga menjadi pulau kecil. Beting Aceh terpisah dari Pulau Rupat, atau sekitar 20 menit perjalanan menggunakan speedboat dari Pantai Pesona, tepatnya menjadi bagian dari Desa Suka Damai.
Luas Beting Aceh ini ketika air surut, diperkirakan sekitar tiga hektar. Selain ditumbuhi pinus laut, hamparan pasir putihnya menjadikan lokasi ini tempat paling favorit dikunjungi wisatawan.
“Tak sah ke Rupat bila tak mengunjungi Beting Aceh,” demikian pameo masyarakat dan wisatawan yang sudah berkunjung ke sana, hingga secara tak langsung menjadikan Beting Aceh ikon pariwisata Rupat.
Aku benar-benar takjub. Meski telah berulang kali menginjakkan kaki ke pulau ini, namun jauh dari kata bosan. Pulau kecil dengan keindahan yang memukau, pasir putih terhampar begitu luas. Aku selalu berlari kecil, menimbulkan jejak yang berbunyi. Airnya sangat jernih, membuat aku ingin segera menceburkan tubuh, merasakan kesejukan.
Saat itu laut surut, sebuah kapal nelayan tengah mengumpulkan ikan-ikan yang terjerat di jaring mengelilingi Beting Aceh. Akupun turut melakukan hal yang sama, menangkap ikan yang tergelepar kekurangan air. Kadang terlepas, menimbulkan keriangan dan suasana gembira. Anak-anak berlarian mencari ikan, lalu sejenak berlalu, anak-anakpun berenang. Menurut mereka, berenang disini mengalahkan kolam renang ala hotel bintang 5.
Melihat anak-anak begitu riang, ingatanku melayang untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke Pulau Rupat, hampir 10 tahun yang lalu.
Semalam baru aku di Rupat, penat belumlah hilang, Herman tenaga honor Dinas Pariwisata sudah menyalakan mesin motornya. “Pagi bu, Ibu jadi mau saya antar ke pantai?” sapa Herman sambil tangan tak lepas mengelap motornya. Akupun tersenyum, “Go!,” jawabku memposisikan kamera DLSR-ku dengan tepat dan aman.
Ketika tiba di sebuah jembatan, akupun beraksi. Lensa kuputar sedemikian rupa agar mendapatkan jepretan yang bagus dan sempurna, tanaman mangrove begitu menggodaku. Kedua sisi sungai tampak mangrove tumbuh dengan subur, sangat rimbun. Mesin motor kembali dihidupkan, motor tanpa plat nomor polisi eks negeri seberang Malaysia berfungsi dengan baik.
Aroma sangat pekat tercium olehku menstimulasi otak menjadi lebih rileks. Dari kejauhan tampak laut semakin terlihat dengan jelas. Pendengaranku terhanyut oleh deburan ombak yang lembut, bagaikan alunan saxophone Kenny G. Masya Allah, sungguh indah perpaduan ciptaan Tuhan.
Aku berdiri di hadapan laut, bau khas ini tidak akan lepas. Melekat dengan kuat, kali ini aku berdiri di hadapan Selat Malaka. Selat yang riuh dengan kapal-kapal besar, jalur pelayaran perdagangan yang sangat melegenda di zaman kerajaan di nusantara, berbaur dengan kerajaan negeri seberang. Takpun dulu, sekarang, bahkan masa depan, Selat Malaka menjadi torehan sejarah.
Herman hanya terpaku melihat diriku yang terus merentangkan kedua tanganku, memejamkan mata merasakan bulir-bulir air laut mencium jari jemari dan menggelung kulit betisku. Sekian puluh menit berlalu, Herman hanya membiarkanku.
Aku terus bermesraan dengan pantai, seakan teman yang sudah sekian lama tidak bersua. Giliranku pula mencurahkan kerinduan yang memendam lama. Kucium bau khas dirimu yang selalu setia menanti hingga kutiba dihadapanmu. Jemari tanganku tak rela melepas cengkraman ini, menemani gemulai tarian ombakmu di sela mentari semakin menjauh, naik menanjak tinggi seakan cemburu dengan pertemuan ini.
Rupat Utara, masyarakatnya nan ramah, alam nan indah, pasir putih membentang luas di perbatasan Indonesia-Malaysia ini sudah membuatku jatuh cinta. Halaman Indonesia ini akan lebih cantik seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Penetapan Lokpri (lokasi prioritas) Pulau Rupat oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) tentu bukan hanya tulisan di atas kertas. Semua lini bergerak, tidak akan hanya berdiam diri untuk mewujudkan Pulau Rupat sebagai beranda Indonesia yang cantik jelita, maju pariwisatanya, sejahtera masyarakatnya. Inilah kisahku, meretas perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
Rotator lampu tiang api mulai beroperasi seiring terbenamnya matahari. Semakin lama semakin jelas memberikan isyarat kepada kapal- kapal di tengah laut. Menebarkan cayaha rindu dan mematrinya dalam sanubariku untuk tetap kembali ke tanah Rupat meskipun telah melangkah ribuan kilometer.