“Diakui atau tidak, terpulang pada siapa yang menilai, tetapi kita sepakat untuk meningkatkan kualitas dalam menegakkan profesionalisme jurnalis. Jangan salah, pak! UKW ini dirumuskan dan dibahas oleh banyak organisasi pers. Ada sekitar 89 tim pembahas berasal dari berbagai kalangan akademisi dan organisasi pers turut andil dalam menyusun UKW sesuai dengan kriteria Dewan Pers. Tidak ada salahnya juga jika kita mengikutinya dalam artian mempermudah kita dalam melaksanakan tugas menyuarakan kepentingan publik,” demikian aku menjawab komentar di laman facebook-ku yang kala itu menggunakan akun Syita Si Pulau Terluar, 2012 lalu.
Sepuluh tahun berlalu, bukan waktu yang singkat, nun jauh di Pulau Karimun, Provinsi Kepuluan Riau sekitar tahun 2012, dengan sejuta kegugupan aku duduk dihadapan Pak Widodo, asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, sebagai peserta ujian sebelum ditasbihkan sebagai wartawan profesional pada level Wartawan Muda.
Jangan ditanya bagaimana saat awal-awal pelaksanaan UKW di seluruh Indonesia, khususnya, PWI sebagai penyelenggara. Seram, iya, ngeri pastinya. Tapi semangat tetap berkobar, seperti gelombang ganas musim Utara di Laut Cina Selatan pada Desember 2012 yang kuseberangi dari Natuna menuju Karimun.
Hari pertama cukup menegangkan, peraturan demi peraturan dipaparkan. Salah satunya adalah 30 menit sebelum ujian harus sudah berada di ruangan. Karena, untuk item satu ini, tidak akan ada toleransi. Terlambat satu menit saja dari jadual ujian, langsung gugur.
Kasus terjadi, saat salah satu peserta sesama rekan wartawan ANTARA Kepri untuk Karimun sang tuan rumah. Langsung gugur karena terlambat, padahal nilai ujiannya termasuk tinggi pada hari pertama. Apa lacur, nasib belum kompeten, hanya karena tertidur di kursi saat dia sudah siap untuk berangkat perang.
Hari kedua berlangsung lebih nyaman, atmosfer peserta kelihatan serius namun rasa tenang lebih terasa. Akupun merasakan, apalagi tulisan semi featureku ditanggapi antusias oleh Pak Widodo. “Ini bagus,” ucapnya singkat. Namun, walau singkat membuat dadaku bergemuruh hebat. Rasa gembira luar biasa karena meluncur dari penguji pusat.
Alhamdulillah, rasa syukurku terhadap ANTARA, tempatku ‘turun gunung” setelah vakum beberapa saat, karena mengabdi sebagai tenaga honorer di Badan Perberdayaan Perempuan dan Anak, Provinsi Riau.
Setiap minggu, kami harus menyetor tulisan berbau feature oleh Kabiro, Evi Ratnawati Syamsir. Bergabung tahun 2010 untuk ANTARA di Kabupaten Siak Indrapura, Provinsi Riau. Kemudian melanjutkan tugas nun jauh di perbatasan, pulau yaang bersanding dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini, terasa kegiatan jurnalistikku meningkat tajam. Hingga suatu waktu, featureku langsung di handle oleh Dirut Perum LKBN ANTARA, Ahmad Muchlis Yusuf terkait Pulau Midai, pulau kecil terluar yang terancam tenggelam oleh abrasi.
Setiap minggu pulalah, aku selalu bersiap untuk hunting ke pulau-pulau. Warna hitam kulitku tak kuhiraukan. Tanpa lapisan sunblock ala Kabiroku Evy, menular, juga spontanitas untuk turun menjadi tabiat yang juga melekat masih turunan Evi. Hubunganpun selain sebagai bawahan dan pimpinan, juga umpama adik kakak.
“Siap tidak siap, jika panggilan turun, apa yang melekat itulah yang menjadi modal,” ujarnya suatu waktu, wartawati yang suka dengan masakan asam pedas, ditemani rebusan daun singkong dan daun pepaya plus wajib sambal terasi ini. “Melayu abis,” tanggapku menyebut sang pimpinan. “Memang kita Melayu,” balasnya tegas.
Kenangan manis itu buyar, saat aku mengucapkan salam hormat kepada Direktur UKW PWI Pusat Prof Rajab Ritonga yang juga pernah menjadi Kabiro ANTARA Riau tahun 1995 – 1996, saat istirahat makan siang hari pertama mengikuti UKW yang ditaja PWI Riau bekerja sama dengan SKK Migas Sumbagut untuk Angkatan XIX dan XX.
Perjalanan karir sebagai seorang wartawan sedikit memaksakan kembali harus kuhadapi UKW tingkat Madya, sebagai bukti besarnya cintaku terhadap profesi yang sejak tahun 1998 kurintis. Jika dulu demi profesional, saat ini martabatpun dipertaruhkan.
Bagaimana tidak, Ketua PWI Riau, Zulmansyah Sekedang menegaskan seluruh wartawan anggota PWI Riau wajib UKW. Jika tidak UKW, maka kartu keanggotaannya tidak bisa diperpanjang. Karena itu, PWI Riau memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anggota untuk mengikuti UKW ini secara gratis.
“Sekali lagi, gratis,” gumamku. Inilah kenapa aku mendukung kembali Zulmansyah Sekedang pada pemilihan Ketua PWI untuk maju pada periode berikutnya, yakni periode 2022 -2027.
Ia begitu gencar melakukan UKW untuk separuh anggota PWI yang saat ini tercatat 1046 wartawan. Dari angka tersebut, sebanyak 576 orang sudah kompeten. Baginya, SDM wartawan yang kompeten menjadi tolak ukur prioritas.
Sejak 2019 lalu peraturan UKW memang semakin diperketat. Sesuai dengan peraturan Dewan Pers No.4/XII/2017 atas perubahan pada peraturan sebelumnya No. 1/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Wartawan yang ingin mengikuti UKW harus mengawali dari tingkatan paling dasar yaitu wartawan muda. Tidak ada lagi bisa langsung mengikuti UKW tingkat madya, apalagi langsung ke utama.
Untuk naik tingkat harus sesuai dengan rentang waktu yang juga diatur dalam peraturan yang sama. Bagi yang ingin naik dari wartawan muda ke madya minimal berjarak tiga tahun. Sedangkan dari madya ke utama jarak minimalnya dua tahun.
“Kita juga menghimbau semua anggota PWI, terutama anggota muda PWI diwajibkan untuk ikut UKW. Karena kalau kalau tidak ikut UKW, kartu PWI nya tidak bisa diperpanjang,” tegas Zulmansyah lagi beberapa waktu lalu sebelum aku memutuskan mengambil tingkat madya.
Aku pikir ini masa yang tepat, “Lantaklah,” batinku. Walau rasa dingin menjalar ke telapak tanganku. Kulihat warna kuning berkas yang terdiri dari 10 mata uji itu, mewarnai hari ini, Rabu, 19 Oktober 2022.
Rasa dingin itu semakin menghangat, walaupun dua tiga kali laptop mengalami mati secara mendadak membuat jantungku berdetak lebih cepat. Berkas kuning tersebut semakin menipis, semangat untuk menyelesaikan UKW angkatan XIX ini dengan baik menuntaskan tekadku.
Disela itu pula aku berbincang aku kembali mendekati Pak Rajab Ritonga yang didampingi penguji magang Utama, Mursid dan Syam Irfandi, menanyakan tanggapan beliau tentang UKW PWI Riau.
“Saat ini dari 1046 anggota PWI Riau, sudah 576 lebih kompeten. Saya sangat bangga, PWI Riau gencar untuk mewujudkan wartawan yang profesional dan bermartabat,” ujarnya sambil memberi semangatku menghadapi dua penguji Ramon Damora didampingi Novrizon Burman sebagai penguji magang.
Pertama berhadapan dengan Penguji magang, Novrizon Burman membahas mata uji UU Pers No. 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) berikut Pedoman Penulisan Ramah Anak (PPRA) dalam sebuah pengulasan berita layak siar atau tidak. Tahapan pertama ini berjalan lancar, akupun semakin yakin maju untuk tahapan berikutnya.
Proses demi proses berjalan dengan atmosfer yang lebih tenang dan sejuk, semakin mengalir, karena sejatinya tes ini mengulang kerja kita sehari-hari sebagai seorang wartawan sesuai jabatan di dalam box susunan redaksi.
Hasilnya, jangan ditanya keharuan yang menyelimuti hatiku. Predikat terbaik disematkan kepadaku. “Sejarah berulang,” batinku. Pulau Karimun mencatat juga sebagai nilai terbaik saat itu, peringkat muda. Pekanbaru mengharu biru, predikat ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang “wow” bagiku, namun perjalanan menjadi wartawan ini membuatku menghargai profesiku.
Sama seperti kala aku memutuskan untuk menjadi anggota PWI Riau pada tahun 2011, setelah sejak 1998 tanpa organisasi berlebel wartawan. Masih melekat di benakku, ketika tes wawancara, tahapan terakhir berhadapan dengan mantan bos tempat dimana aku untuk pertama berkarir.
“Anak durhaka,” ucap alm. Pak Saragih, Pimred Tabloid Mediator. (bersambung)