Oleh Winbaktianur *)
Sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Barat berhawa yang sejuk di kelilingi oleh perbukitan bagi saya dan keluarga menyimpan banyak kenangan. Lebih dari tiga tahun kami menetap di daerah ini. Disela-sela aktivitas rutin, kami senantiasa menyempatkan diri untuk mengunjungi banyak tempat yang menarik yang sangat banyak di bumi Parahyangan ini. Di antara yang paling berkesan adalah ziarah ke makam pahlawan nasional dari tanah rencong, Aceh.
Cut Nyak Dien, sosok pahlawan besar akan selalu dikenang, siapa sangka ternyata makamnya berada ribuan kilometer dari tanah kelahirannya. Begitu memasuki gerbang makam, mata saya langsung tertuju pada makam yang dikelilingi pagar kayu berwarna coklat dan terdapat pintu untuk memasuki area makam. Terdapat sejumlah tulisan dalam aksara Arab dan Indonesia yang masih menggunakan ejaan lama dan gaya Bahasa Melayu. Pada sebelah kiri dinding makam dapat dibaca dengan jelas besarnya jasa Cut Nyak Dien saat berjuang melawan penjajah Belanda.
“Karena djihadmu perdjuangan, Atjeh beroleh kemenangan, Dari Belanda kembali ke tangan, Rakjat sendiri kegirangan. Itulah sebab sebagai kenangan, Kami teringat terangan-angan, Akan budiman pahlawan djundjungan, Pahlawan wanita berdjiwa kajangan.
Pada salah satu nisan terdapat cuplikan sejarah singkat sang pejuang:
“Di sinilah dimakamkan Pahlawan Nasional: Tjut Nja’ Dien, Istri Teuku Umar Djohan, Panglima Perang Besar dalam Perang Atjeh. Selama hidupnja Tjut Nja’ Dien telah berdjoang mati-matian sebagai seorang Pahlawan Putri jg setia disamping suaminja menentang Belanda dalam Perang Atjeh, setelah suaminja wafat Tjut Nja’ Dien meneruskan djihad memimpin perdjoangan sehingga beliau tertawan oleh Belanda pada tanggal 6 Nopember 1905 di Atjeh Barat. Cut Nyak Dien dilahirkan di Atjeh pada tahun 1848 dan wafat dalam pembuangan di Sumedang (Djawa Barat) ada tanggal 6 Nopember 1908. Semoga Allah memberi berkah kepada arwah suci Pahlawan Putri yang amat berdjasa dan setia ini. Amin”.
Mengenal Cut Nyak Dien
Lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ayahnya merupakan Uleebalang VI Mukim bernama Teuku Nanta Seutia, yang masih keturunan Minangkabau, Datuk Machudum Satie. Beliau adalah keturunan Laksamana Muda Nanta, yang merupakan penguasa yang ditunjuk oleh Sultan Iskandar Muda di Pariaman sebagai perwakilan kesultanan Aceh. Sedangkan ibu Cut Nyak Dien adalah putri Uleebalang Lampageu, seorang putri bangsawan Aceh.
Usia 12 tahun, Cut Nyak Dien yang yang cantik dan taat beragama dinikahkan dengan Teuki Cik Ibrahim Lang Nga. Sebelum menikah, ia belajar Agama dari orangtua dan guru agama di VI Mukim. Teuku Cik Ibrahim Lam Nga juga berasal dari keluarga bangsawan Uleebalang Lam Nga XII. Walaupun menikah diusia muda, Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu Agama dan keterampilan sebagai ibu rumah tangga oleh kedua orangtuanya.
Sejarah mencatat, Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873, dengan rentetan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Cidatel Van Antwerpen. Gempuran Belanda yang terus menerus di bawah komando Jan Van Swieten akhirnya dapat menguasai VI Mukim pada tahun 1973, selanjutnya pada tahun 1974 istana Sultan Aceh di Kutaraja juga dapat dikuasai oleh pasukan Belanda. Dalam suasan perang yang berkecamuk, Cut Nyak Dien serta perempuan Aceh dan anak-anak mengungsi pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lam Nga berjuang bersama pasukannya mengusir Belanda dari tanah VI Mukim. Pada 29 Juni 1878, Ibrahim Lam Nga gugur ketika kontak senjata dengan Belanda. Kematian suaminya membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1880 Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar. Cut Nyak Dien menerima lamaran Teuku Umar dengan mengajukan syarat diberikan izin untuk ikut berperang melawan Belanda. Dari pernikahan ini mereka memiliki anak, Cut Gambang. Bersama dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien melakukan perang gerilya mengusir penjajah Belanda. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjalankan siasat seolah-olah berpihak kepada Belanda, dan setelah dirasakan mempunyai banyak persenjataan, Bersama pasukannya mereka meninggalkan Belanda dan berbalik untuk melawan Belanda. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan membawa serta semua pasukannya, perlengkapan perang, senjata, dan amunisi Belanda. Mereka pergi dan tak pernah kembali kepada Belanda. Belanda sangat marah, dan menyatakan ini adalah suatu pengkhianatan, dengan sebutan het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Tidak terhitung usaha yang dilakukan oleh Belanda untuk menumpas Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, namun selalu gagal bahkan Belanda mengalami banyak kekalahan. Usaha Belanda membuahkan hasil, Teuku Umar gugur tertembak Belanda di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Putri mereka, Cut Gambang, sangat terpukul dan kehilangan ayahnya. Cut Nyak Dien berusaha menenangkan Cut Gambang, bahkan hingga memarahinya, dan kemudian memeluk putrinya sembari berkata:
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan memimpin pasukannya melawan Belanda dengan taktik perang gerilya jauh di pedalaman Meulaboh. Pada tahun 1905, Cut Nyak Dien ditawan Belanda di Beutong Le Sageu karena salah seorang anak buahnya Pang Laot merasa kasihan dengan kondisinya yang sudah sakit-sakitan, encok, mata rabun dan jumlah pasukan yang semakin berkurang, maka Pang Laot melaporkan keberadaan Cut Nyak Dien kepada Belanda.
Cut Nyak Dien dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) oleh Belanda sebagai tawanan dan diobati sakitnya. Setelah penyakitnya berangsur-angsur pulih, ia kemudian dibuang Ke Sumedang Jawa Barat. Belanda masih khawatir jika Cut Nyak Dien masih ditawan di Banda Aceh akan memicu perlawanan pejuang Aceh karena Cut Gambang, putrinya berhasil melarikan diri ke hutan bersama pasukannya ketika Belanda menangkap Cut Nyak Dien. Dengan menggunakan kapal laut Cut Nyak Dien dikirim ke Sumedang setelah terlebih dahulu mendarat di Batavia (Jakarta), lalu melanjutkan perjalanan dengan jalur darat. Selama perjalanan Cut Nyak Dien ditemani Teuku Nana yang ketika datang mendampingi Cut Nyak Dien masih berusia 15 tahun yang juga ikut menetap di Sumedang hingga akhir hayatnya.
Sebelum meninggal, di Sumedang Cut Nyak Dien dijaga dengan baik oleh Imam Masjid Raya Sumedang, kepercayaan Suriaatmadja, Bupati Sumedang kala itu. Rumah yang ditempati oleh Cut Nyak Dien masih dapat disaksikan, berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Raya dan Alun-alun Sumedang. Hanya sekitar 2 tahun di Sumedang, pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal. Semasa di Sumedang, Cut Nyak Dien mengajar mengaji dan ilmu agama dikenal dengan nama panggilan ibu Perbu atau ibu Suci.
Cut Nyak Dien dimakamkan di Kompleks Pemakaman Gunung Puyuh (pemakaman kerabat kerajaaan Sumedang dan keluarganya), berjarak sekitar 1 kilometer dari alun-alun Sumedang. Menurut penjaga makam, Pak Asep, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan. Sangat mudah menemukan makamnya, begitu memasuki kompleks makam, berjalan sedikit menanjak, lalu menurun dan hanya butuh 3 menit berjalan kaki dari jalan raya. Kompleks ini beralamat di Jalan Cut Nyak Dien, Desa Sukajaya, kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat. Masyarakat dapat berziarah setiap hari tanpa dipungut bayaran.
Makam ini dipugar pada 1987 sebagaimana tertulis pada monumen peringatan di dekat pintu masuk diresmikan oleh Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Sekeliling makam dipagar besi dan beton. Di belakang makam berdiri meunasah (musholla) dan di sebelah kiri makam terdapat banyak makam lainnya. Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, terdapat tulisan berbahasa Arab, surat Al-Fajr dan Surat At-Taubah serta tertulis Riwayat singkat kehidupannya, serta hikayat cerita masyarakat Aceh.
*) winbaktianur
Penikmat wisata dan budaya serta akademisi di UIN Imam Bonjol
e-Mail : winbaktianur1978@gmail.com