Seutas Benang Penutup Luka

Dua windu berlalu, gembok kerangkeng yang sengaja kupasang untuk membekukan hati, mulai kulepas satu- persatu setelah mencoba bersahabat dengan sisi kelam yang tak perlu diobati. Kini masanya menjemput takdir untuk menembus kesejukan embun menuju kehangatan mentari.Tahniahku pada sekalian alam, specially for someone who’s coloring my life – Thank God,  Ich liebe Dich.

Bergelut dengan ganasnya gelombang musim Utara ketika menerkam setiap kapal tersesat dalam arusnya, adalah bentuk permainan keseharian penempa mentalku menjadi sosok baru. Namun tetap mendapatkan kelembutan senja sebagai penghantar diri menikmati keindahan semesta. Pada akhirnya, aku tetap aku, si bungsu kesayangan ayahanda seorang.

Bacaan Lainnya

Bandung, Juli 2003, dengan langkah riang kumulai pagi itu. Hiruk pikuk kendaraan bermotor mewarnai kedinamisan Kota Kembang,  diperkuat dengan semerbak bunga menyapa indra penciumanku saat melintasi trotoar Jalan Aceh.

“Bunga, Non,” sapa penjaja kembang mencoba menawarkan dagangannya kepada pelintas sepertiku.

“Ini, ya, Pak,” ujarku sembari menyodorkan lembar duapuluhribuan dan kembali melanjutkan langkah.

Aku memasuki bangunan  sebelah kiri jelang simpang Jalan Merdeka, tepatnya sebuah bangunan dengan tulisan besar Germany Intensive School pada plang namanya.

Tempat ini menjadi tujuanku menempa kemampuan bahasa menjelang keberangakatan dijadwalkan enam bulan kedepan untuk melanjutkan pascasarjana di Kiel University, Jerman.

Aku berharap langkah ini sudah tepat diambil sebagai pengobat kedukaan atas kehilangan anak pertamaku, Iqlima, yang tak sempat kudengarkan tangisnya. Bermula dengan Basmallah, kuyakinkan ini adalah cara terbaik untuk tidak larut dalam rundung kesedihan.

“Ini cita- cita mama, nak. Semoga Allah memberikan ridhonya,” batinku saat membuat keputusan tersebut.

*****

Kembali merasa seperti gadis belia, aku melenggang santai memasuki ruang belajar dengan asumsi untuk memenuhi gelas yang telah kukosongkan agar kembali terpenuhi dengan pengetahuan baru.

“Galuh,” ucap seorang perempuan di sebelah kursiku menyodorkan tangannya.

“Syita,” jawabku menyambut uluran tangan itu.

Dari perkenalan singkat tersebut, kuketahui Galuh berasal dari Yogyakarta. Meskipun punya rencana sama untuk melanjutkan studi ke Jerman, namun kami beda perguruan tinggi.

Sejenak kemudian pelajaran dimulai dan kami mendapatkan penjelasan tentang pengantar kebudayaan masyarakat Jerman sebagai landasan dasar mempelajari bahasa mereka.

Hari pertama yang berkesan, kami berkumpul di kota ini untuk satu tekad, melanjutkan pendidikan ke Benua Eropa memenuhi mimpi  memperkaya nuansa berfikir dalam bentuk pendidikan. Keinginan besar tersebut seperti lecutan cemeti penguat hari-hari sebagai awal perjuangan. Enam bulan kami akan bersama, merajut mimpi alam sadar untuk menjadi untaian renda keberhasilan.

Mimpu Buruk

Seperti biasanya, sekitar akhir September 2003, pukul 18.00 wib,  aku tiba di kosan, Jalan Aceh Kota Bandung. Usai bersih-bersih di kamar mandi, kulanjutkan sholat Magrib.

Sambil menikmati santap malam bersama teman-teman satu kosan, kami berbagi cerita tentang aktivitas masing-masing siang tadi. Bagi anak kos, makan bersama adalah cara menghabiskan makanan paling lama karena dibarengi canda tawa sambil meningkahi keusilan kawan.

Kegembiraan di ruang makan serasa membuat letihku hilang hingga sebuah senyuman tercipta menjelang terlelap di atas empuknya bantal.

Dalam keterlenaan dibuai kesejukan malam Kota Bandung, samar-samar aku melihat sosok yang memunggungiku sambil jongkok di depan laci lemari. Sebelum terlalu sadar, aku sempat memperhatikan tingkah laku sosok tersebut yang menyibukkan diri seperti mencari sesuatu dari kabinet kecil itu. Akhirnya kusadari, tamu tak diundang telah bergerilya di kamarku.

Sontak aku kaget. Sebuah teriakan spontan membuat sosok itu berdiri, berbalik menghadapku sambil menghunus belati siap menyerang.

Entah dari mana sebuah kekuatan memicu adrenalin.  Tak pelak sebuah pergumulan seperti layaknya film laga tak dapat dihindari di kamar berukuran 2×3 itu.

Aku merasa sebagai pejantan tangguh yang harus bergumul dengan rampok dan menjadikan tangan dan kepala sebagai tameng untuk bertahan hidup

Yang kuingat, saat pergumulan itu terjadi aku merasakan durasi yang sangat lama. Hingga secuil doa yang teringat terlontar dari hatiku.

“Ya Allah, berilah kekuatan dan keselamatan pada hamba untuk mengakhiri perkelahian ini,”  batinku.

Aku merasa harus memenangkan pergumulan ini, aku tidak ingin mati sia-sia. Tekadku tiada tanding. Seketika sosok itu berlari keluar, namun dengan gigih pula seakan tidak merasakan tusukan yang mengalirkan darah deras dari kepala.

Dengan tubuh berlumuran darah, aku sempat mengejar hingga ke ruang tengah. Sebelum tubuhku ambruk, aku masih mendengar teriakan, “Tolongin mbak Syita! saya mau kejar rampoknya!”  ujar suara salah seorang teman kos yang kebetulan adalah anggota Polwan. Aku rubuh, lalu semuanya gelap.

*****

Layaknya berada dalam gua. Pengab. Gelap. Bau aneh menyengat hidung hingga terasa sesak saat bernafas. Sementara tubuh ini sulit untuk digerakkan, namun aku tetap berusaha menemukan sesuatu sebagai patokan untuk keluar dari kondisi tersebut.

Terasa kabur awalnya, lalu berlahan ruang pandangku mulai beradaptasi, ditandai dengan serpihan cahaya yang mulai menembus  kornea mataku. Beberapa detik kemudian, transisi cahaya menembus benak dan secara spontan satu persatu kupidai setiap sisi ruangan serba putih itu.

Satu set drawer cabinet dengan sejumlah peralatan medis terlihat berdiri kokoh disamping medical bed tempat aku berbaring, sementara  pada sisi lain menggantung kantong infus yang ujungnya bermuara di lenganku. Sedikit tersentak, dan otakku mulai mencari penyebab mengapa harus berada di ruang ini.

“Aku di mana?” lirihku tercekat menatap sekeliling. Sunyi tiada jawaban.

“Ah, aku tak bisa mengingatnya,” suaraku semakin melemah saat terpaku menatap sebuah pintu. Menit berikutnya tubuh terasa bergetar tanpa mampu dikendalikan.

“Tutup pintunya! Tutup pintunya! Tutup pintunya!”  Lirihku berulang-ulang hingga melemah. Akupun kembali terlena dalam ayunan mimpi alam bawah sadar.

“Ibu ini sebenarnya tadi sempat sadar. Semuanya dapat di-check kembali dari data spektrum patient monitor,” sayup- sayup suara perbincangan mengusik daun telinga.

Ingin sekali membuka mata untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku tak sanggup karena seperti ada beban mengganduli kelopak mata hingga terasa sangat berat.

Tit..tit…tit…tit, bunyi tersebut terus bermain di telinga seolah mengirim sinyal untuk segera terjaga. Namun kembali terasa lunglai hingga aku sekali lagi larut dalam buaian mimpi. Kembali sunyi.

Setidaknya bagian ini tetap melekat dari potongan-potongan peristiwa yang hampir merenggut nyawaku.  Jejak sejarah berdarah, demikian aku menyebutnya,  kini tetap terukir dengan bentuk agak menonjol berjumlah sembilan bekas tusukan belati pada lengan dan kepala.

Benang yang menancap pada sembilan tusukan masih terasa nyeri, namun kekuatan tiap utas benang itu pula mampu  menutup luka. Lalu, kenapa kita mesti merisaukan hal yang sama? Jalani saja takdir! Kita bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang hamba.

 

Ramadhan Kareem

Pos terkait