Hanyut Dalam Keasrian Kampung Adat Koto Sentajo

Salah satu rumah adat di Koto Sentajo, Kuantan Singingi (Kredit Foto: AB Phituluiq Home Studio)

Sederet bucket list telah disiapkan untuk menikmati liburan singkat kali ini. Sepanjang perjalanan, saya tak henti bercerita mengenai keseruan pacu jalur, gurihnya lomang (lemang= sejenis beras ketan campuran santan yang dimasak dalam bambu dengan cara dipanggang) pulut kegemaran saya, hingga objek wisata yang akan kami kunjungi. Selain berburu lomang, tak lupa kesempatan ini digunakan untuk menikmati  lezatnya sate serta yang paling spesial mengunjungi kampung Adat Koto Sentajo.

Setelah beristirahat, keesokan harinya kami memulai petualangan di kota Jalur, julukan yang melekat untuk Teluk Kuantan, Ibukota Kabupaten Kuantan Singingi. Sudah pasti, tujuan pertama adalah menikmati dahsyatnya sate daging sapi yang legendaris, lokasinya tak jauh dari kantor pos atau sekitar 250 meter dari pasar rakyat. Sarapan semakin istimewa dengan bergabungnya sahabat masa sekolah dulu di SMEAN Taluk Kuantan (sekarang SMKN 2 Teluk Kuantan), Hendri dan keluarganya. Banyak cerita yang kembali terurai setelah sekian lama tak berjumpa.

Bacaan Lainnya

Singkat cerita, perjalanan berlanjut menuju kampung adat Koto Sentajo, yang pada tahun 2021 mengukir prestasi yang membanggakan dengan meraih penghargaan dalam ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) Award sebagai peringkat kedua. Pada tahun 2020 kampung adat ini meraih prestasi sebagai 20 besar Desa Wisata  Budaya  terbaik  tingkat  Nasional  yang  diseleksi  oleh  Kementerian  Pariwisata  dan Ekonomi Kreatif. Prestasi yang membanggakan.

Kampung adat Koto Sentajo berlokasi di Kecamatan Sentajo Raya Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Memasuki kampung adat ini pengunjung langsung disuguhkan dengan sejuknya udara dan panorama yang asri. Sederet rumah tua dengan kondisi yang masih dipertahankan keasliannya tersaji di depan mata. Masyarakat kampung adat ini masih teguh memegang tradisi dan adat istiadatnya, sehingga mampu mempertahankan eksistensinya.

Menelusuri kampung adat ini tak lengkap tanpa mempelajarinya. Lingkungan pelestarian adat dapat disaksikan dengan bertebarannya Rumah Godang dan Sosoran Pondam Pandekar Tuah. Kedua tempat tersebut menjadi pusat kegiatan masyarakat pada hari kedua idulfitri setiap tahunnya. Beranjak ke bagian lain kampung adat, persis berada dipinggir danau kecil berdiri megah sebuah masjid tua. Masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan Mansojik Usang (masjid lama). Masjid ini dibangun pada tahun 1838 dan hingga saat ini masih digunakan untuk sholat lima waktu dan kegiatan keagamaan lainnya.

Bentuk bangunan masjid masih dipertahankan hingga saat ini, dengan beberapa kali renovasi, bahkan yang semula bangunan dari papan berganti bahan bangunan dengan bata dan semen. Masjid ini memiliki atap bersusun tiga berwarna merah. Bangunan utama masjid terdiri daro 17 tiang penyangga yang menggambarkan tetua dalam empat persukuan. Setiap persukuan terwakili oleh 4 buah tiang, dengan mewakili posisi panghulu, monti, dubalang, dan tungganai. Di tengah-tengah ruang utama masjid berdiri kokoh tiang utama dan merupakan tiang tertinggi dan terbesar di antara tiang lainnya. Bagi masyarakat kampung adat ini, tiang utama disimbolkan sebagai Nabi Muhammad SAW. Sementara keempat tiang lainnya melambangkan sahabat-sahabat Nabi yang meneruskan perjuangan dan pemerintahan Islam setelah Nabi wafat, yaitu Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Abu Bakar as Shidiq, Sayyidina Ustman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib.

Bagi masyarakat Koto Sentajo, pemangku adat terdiri dari Tuo Kampuang dan Tungganai. Tuo Kampuang merupakan orang yang dituakan dalam masing-masing suku di rumah godang. Dengan posisinya, mengemban tanggungjawab untuk menyelesaikan perselisihan (biasanya kasus-kasus yang mengeluarkan darah) yang terjadi pada cucu dan kemenakan dan hal lain yang berhubungan dengan harta pusaka tinggi (pusoko) suku. Sedangkan Tongganai adalah Ninik–Mamak yang bertanggungjawab untuk mengendalikan segala urusan permasalahan pada cucu–kemenakan di suku dan mengurus atau menjaga Rumah Godang. Karena itu semua permasalahan yang berkaitan dengan cucu-kemenakan, Tungganai diharuskan memberi tahu kepada Tuo Kampuang guna mendapatkan saran atau solusi serta upaya-upaya yang diambil oleh seorang Tungganai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Misalnya mengurus keperluan cucu-kemenakan dalam urusan pernikahan, hajatan maupun permasalahan dalam rumah tangga.

Sisi lain dari Kampung Adat Koto Sentajo, Kuantan Singingi (Kredit Foto: AB Phituluiq Home Studio)

Di kampung adat ini maupun di wilayah Kenegerian Sentajo lainnya terdapat empat suku dan memiliki Datuk Penghulu, sebagai berikut Suku Chaniago-Datuk Sanaro, Suku Poliang-Datuk Panghulu Malin, Suku Malayu-Datuk Penghulu Bongsu, Suku Patopang-Datuk Panghulu Kayo. Khusus untuk Suku Poliang terbagi menjadi Suku Poliang Lowe, Poliang Soni dan Suku Tanjung akan tetapi penghulunya (Pangulu) tetap satu orang. Pemangku adat lainnya, lebih dikenal dengan sebutan Urang Onam Bole (orang 16) masing masing terdiri dari 4 suku utama yang berasal dari kenegerian Sentajo ini. Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, kawasan rumah godang ini diperkirakan telah ada sejak 2,5 abad lampau. Rumah-rumah godang ini juga difungsikan untuk tempat pemberian penghormatan disertai doa pada saat tetua adat adat masing-masing suku meninggal dunia, misalnya panghulu, menti, dan dubalang.

Pada hari-hari besar tertentu, seperti idulfitri, kita dapat menikmati kebudayaan dan tradisi adat istiadat masyarakat setempat, di antaranya Randai, tradisi Rayo Rumah Godang, perayaan Musim Tanam padi, Musim monuai (panen), dan Silek. Sekitar 20 unit rumah godang ada di sini, Balai Adat, Hutan Adat, dan sawah yang menghadirkan kehidupan tradisional kampung adat ini semakin asyik untuk diekplorasi. Pengunjung juga dapat melihat sederet alat alat musik tradisional seperti gondang dan talempong yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. Setiap acara adat, talempong dan gondang pasti dimainkan.

Mengunjungi kampung adat ini sangatlah mudah, jika bertolak dari kota Teluk Kuantan berjarak terletak sekitar lima kilometer arah kota Rengat. Hanya saja, sejak beberapa tahun belakangan ini tidak ada lagi angkutan umum yang melewati kampung adat ini, alternatifnya adalah dengan menggunakan kendaraan sendiri atau ojek. Kisaran biaya ojek Rp 15.000-Rp 20.000 untuk sekali jalan. Lokasinya persis berada di sebelah kanan jalan, sekitar 300 meter dari jalan lintas Teluk Kuantan-Rengat. Menikmati wisata kampung adatini tidak dipungut bayaran alias gratis. Sempatkan untuk sholat di mansojik usang dan rasakan kesejukan dalam masjid. Berbaur bersama penduduk setempat akan memberikan pengalaman tak terlupakan, karena masyarakat kampung adat ini sangat ramah dan senang berbagi cerita. Penasaran dengan buah tangannya? Pastikan anda menjinjing wajik dopuar/lopuar atau golamai maupun kerupuk sagu khas kabupaten ini.

Oleh: Winbaktianur
Email: winbaktianur1978@gmail.com
Akademisi Psikologi Islam UIN Imam Bonjol, Penikmat Wisata dan Budaya.
Ramadhan Kareem

Pos terkait