Selayang pandang kopi Indonesia yang mendunia

Winbaktianur, Akademisi di Psikologi Islam UIN Imam Bonjol

Mendengar kopi, bayangan langsung tertuju kepada nikmatnya secangkir kopi panas atau dingin dengan beragam varian. Iya, kopi semakin menempati posisi khusus di kalangan penggemarnya. Di Indonesia, boleh dikatakan bahwa bubuk kopi senantiasa tersedia di sebagian besar rumah. Sebagian orang minum teh untuk memulai hari, ada juga yang lebih semangat setelah menyeruput secangkir kopi favorit. Jika Anda termasuk kategori kedua, dan senang mencicipi berbagai variasi kopi, Anda sangat beruntung tinggal di negara ini.

Dalam peta kopi dunia, Indonesia termasuk salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, menduduki posisi keempat.  Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah ekspor kopi Indonesia tahun 2022 mencapai 434,19 ribu ton, mengalami peningkatan 12,92% dari tahun 2021. Dengan nilai total ekspor tersebut mencapai USD 1,13 miliar pada tahun 2022. Angka yang fantastis untuk kopi. Namun, di sini tidak untuk mendiskusikan angka-angka ekspor ini, tetapi sisi lain dari perjalanan kopi hingga seruputannya dapat dinikmati.

Bacaan Lainnya

Nikmatnya secangkir kopi susah untuk diberikan ukurannya karena sejauh ini belum ada standar baku kenikmatan kopi. Konon ceritanya, masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki kecenderungan menikmati secangkir kopi tanpa campuran alias bubuk kopi murni. Namun ada beberapa wilayah di kawasan pesisir pantai lebih menyukai kopi yang dicampur, misalnya dengan campuran beras atau jagung. Ini menggambarkan selera masyarakat dataran tinggi dengan kawasan pesisir dalam menikmati sajian kopi.

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah tanah gambut maka kopi jenis liberika menjadi andalannya, dan menjadi pilihan kopi nikmat di daerah itu, sebut saja Kabupaten Kepulauan Meranti di Propinsi Riau. Di dataran tinggi tentu pilihannya adalah kopi arabika, dan dataran rendah akan sangat akrab dengan kopi robusta.

Berdasarkan catatan, dalam kurun waktu sekitar tahun 1700-an, pesona kopi Arabika dari tanah Jawa membuat masyarakat benua Eropa sangat kagum. Ketika itu, saking populernya ada istilah a cup of Java, sebagai bentuk apresiasi kenikmatan suguhan kopi arabika dari tanah Jawa. Perjalanan kopi di tanah air tidak bisa lepas dari peran Belanda sekitaran tahun 1696 dengan perusahaan dagangnya VOC dengan rentetan cerita yang berliku hingga akhirnya Indonesia menjadi salah satu raksasa penghasil kopi terbaik di dunia. Kopi dengan perjalanannya yang penuh drama ini mewujudkan sebuah kebudayaan di berbagai belahan dunia. Tidak jarang, ada sebagian pencinta kopi menganggapnya sebagai sebuah aliran ilmu pengetahuan atau sains.

Sejarah mencatat, pada mulanya Belanda membawa kopi jenis arabika dari Malabar, India, ke Pulau Jawa. Kedawung yang berlokasi dekat Batavia menjadi pilihan untuk budidaya kopi pertama kalinya. Namun, budidaya yang dilakukan Belanda gagal karena cuaca ekstrim dan adanya bencana alam.  Belanda tidak menyerah, kembali melakukan budidaya kopi 3 tahun kemudian, dengan membawa batang kopi hasil stek dari Malabar. Upaya ini membawa hasil yang menggembirakan, bahkan pada tahun 1706, kopi dari tanah Jawa mengukir catatan sukses yang fantastis dan menjadi sangat populer.

Ini membuat Belanda semakin bersemangat menanam biji kopi di tiap-tiap pulau jajahannya di Indonesia. Manisnya perdagangan biji kopi kala itu memberikan keuntungan besar bagi Belanda, bahkan ekspor biji kopi dari Indonesia sangat populer.

Kesuksesan itu bertahan cukup lama, hampir dua abad, tepatnya tahun 1878, perkebunan kopi milik Belanda diserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV) yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh perkebunan di Indonesia. Tidak kehabisan akal, Belanda mengganti kopi arabika dengan liberika. Akan tetapi tetap tidak berhasil, karena serangan penyakit karat daun yang memaksa Belanda menelan pil pahit perkebunan kopi.

Kemudian Belanda memperkenalkan jenis kopi robusta kepada petani di Jawa Timur pada tahun 1900.  Kopi jenis ini diklaim tahan serangan penyakit karat daun, dan benar saja kopi robusta meraih kesuksesannya. Seiring dengan waktu, budidaya kopi robusta mulai masuk pulau Sumatera, dan menjadikan biji kopi sebagai salah satu komoditi ekspor utama Belanda selain rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Jenis kopi arabika (coffea arabica) merupakan tanaman kopi yang pertama kali dibudidayakan. Ada yang memperkirakan, sejarah kopi bermula dibawa dari Abyssinia menuju ke Yaman dan dibudidayakan di dataran tinggi wilayah ini. Budidaya kopi diperkirakan mulai dilakukan pada tahun 575 masehi. Kopi mulai dikenal masyarakat Afrika pada abad ke 9 masehi, tepatnya di wilayah Ethiopia dan Eritrea. Namun belum ada catatan yang menjelaskan secara pasti bagaimana masyarakat Abyssinia memanfaatkan tanaman kopi kala itu. Dugaan para ahli, pada masa itu tanaman kopi kemungkinan hanya salah satu komoditi yang dibawa pedagang dari Abyssinia ke Yaman oleh bangsa Arab.

Sejarah mencatat bahwa biji kopi dimanfaatkan pertama kali sebagai minuman dikenalkan oleh orang-orang Arab yang kala itu menguasai perdagangan kopi. Begitu populernya komoditas kopi ini bahkan menjadi salah satu primadona perdagangan melalui pelabuhan Mocha di Yaman hingga diperdagangkan ke benua Eropa. Mocha saat itu menjadi satu-satunya pintu perdagangan kopi. Begitu legendarisnya hingga saat ini pencinta kopi mengenal istilah kopi mocha.

William H. Ukers dalam bukunya all about coffee (1922), menyatakan bahwa kata “kopi” masuk dalam bahasa-bahasa Eropa pada era 1600-an. Ukers berpendapat bahwa kata “kopi” atau “coffee” diambil dari bahasa Arab “qahwa” yang kemudian diserap ke dalam bahasa Turki “kahveh”. Kata “qahwa” dalam, Bahasa Arab bukan berarti tanaman kopi, namun justru merujuk pada nama minuman. Qahwa kemudian disimpulkan merupakan sebutan untuk minuman yang dibuat dari biji dan diseduh dengan air panas.

Tahun 1909, pada Symposium on The Etymology of The Word Coffee disepakati bahwa kata “coffee” tertuju pada istilah “qahwa” dalam bahasa Arab yang berarti “kuat”. Namun ada juga pendapat bahwa “qahwa” memiliki arti jenis minuman dari anggur atau wine. Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan penggunaan istilah kopi tidak berasal dari bahasa Arab dan melainkan diambil dari bahasa Abyssinia yang merupakan daerah asalnya. Menurut teori ini, kopi diadaptasi dari kata “kaffa” yang merupakan sebuah kota di daerah Shoa, yang terletak di Selatan Barat Daya Abyssinia. Pendapat ini dipatahkan karena tidak didukung oleh bukti kuat. Karena ada bukti menunjukkan bahwa buah kopi atau biji kopi disebut dengan nama “bun” atau “bunn” dan tidak merujuk pada minuman.

Sebagian besar ahli kopi menyatakan bersumber dari kata “qahwa” dalam bahasa Arab, kemudian diserap ke bahasa Turki “kahve”, bahasa Belanda “koffie”, bahasa Perancis “cafe”, bahasa Italia “caffe”, bahasa Inggris “coffee”, dan bahasa Melayu “kawa”. Nama-nama tersebut memiliki kesamaan bunyi dengan kata “qahwa”.

Kata kopi yang saat ini dikenal untuk menyebut minuman dari biji kopi merupakan serapan kata dari bahasa Belanda “koffie”. Pendapat ini rasanya lebih tepat untuk Indonesia, karena Belanda yang membudidayakan kopi pertamakali di Indonesia. Akan tetapi bisa saja serapan dari bahasa Arab dan Turki karena Indonesia telah memiliki hubungan dagang dengan mereka sebelum bangsa Eropa datang.

Menyeruput secangkir kopi tidak hanya sekedar memadukan bubuk biji kopi yang telah disangrai dengan air panas atau dingin, akan tetapi disertai dengan takaran yang akurat untuk membuat kopi terasa lebih nikmat. Menyeduh kopi secara tradisional atau menggunakan mesin seduh akan menciptakan sensasi rasa kopi yang juga berbeda.

Menikmati secangkir kopi diikuti dengan membayangkan perjalanan panjang kopi hingga dikenal luas saat ini, memunculkan suatu kesimpulan bahwa butuh banyak eksplorasi untuk mendapatkan informasi seputar kopi yang lebih mendalam. Sudahkah Anda menyeruput nikmatnya kopi untuk memulai hari?

Pos terkait