Menelusuri Samarinda ‘nan’ Samarendah

Taman Samarendah merupakan bekas Lapangan Pemuda, Bangunan SMP Negeri 1, dan Bangunan SMA Negeri 1 Samarinda yang disulap menjadi taman kota.

Oleh: Winbaktianur *)

Setelah mendarat di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan di Balikpapan, saya bergegas menuju pintu keluar bandara dan menaiki minibus menuju kota tujuan, Samarinda. Jalan Tol Balikpapan-Samarinda menjadi pilihan untuk mempersingkat waktu tempuh yang sebelum via tol, waktu tempuh perjalanan sekitaran 3 hingga 3,5 jam menjadi hanya 1,5 jam.

Bacaan Lainnya

Jalan Tol sepanjang 97,3 KM ini merupakan Jalan Tol pertama yang di bangun di Pulau Kalimantan. Melewati perkebunan sawit, kawasan Tahura Bukit Soeharto yang merupakan taman hutan raya terletak di Kabupaten Kutai Kartenegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, juga melewati Hutan Lindung Sungai Manggar.

Memasuki kota Samarinda, waktu telah menunjukkan pukul 19.00 WITA, saatnya untuk mengisi perut yang keroncongan. Pilihannya adalah warung makan pinggir Sungai Mahakam dengan pemandangan kapal tongkang dan kerlap-kerlip lampu jembatan Mahakam IV yang menjadi penghubung utama lalu lintas masyarakat Samarinda Seberang, Palaran, dan Loa Janan Ilir menuju pusat kota. Jembatan ini melengkapi tiga jembatan besar yang telah ada membentang di Sungai Mahakam, yaitu ada Jembatan Mahakam, Jembatan Mahulu, dan Jembatan Mahkota II.

Di sela-sela urusan pekerjaan, saya menyempatkan diri untuk menyusuri Samarinda, ibukota propinsi Kalimantan Timur yang tengah giat membangun. Satu yang tak boleh dilewatkan adalah santai sore di taman Samarendah dan Sungai Mahakam. Karena namanya unik, saya memilih taman Samarendah, jalan Bhayangkara, Bugis Kota Samarinda yang lokasinya hanya berjarak 300 meter dari hotel tempat saya menginap. Waktu terbaik menikmati suasana taman ini adalah sore hingga malam hari. Persis di sebelah timur taman Samarendah, berdiri megah museum negeri Kota Samarinda.

Terbetik tanya, kenapa namanya Sama Rendah? Samarinda dengan luas 718 kilometer persegi merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur dan ditetapkan sebagai  Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Kota ini memiliki sejarah yang panjang sejak zaman Kerajaan Kutai Kartanegara yang dilewati sungai Mahakam yang merupakan sungai terbesar kedua di Pulau Kalimantan.

Sejarah mencatat Kota Samarinda Sejarah Kota Samarinda dan asal-usulnya tak terlepas dari salah satu kerajaan di Nusantara, yakni Kerajaan Kutai Kertanegara. Dahulunya sebelum dikenal dengan nama Samarinda, kota ini masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan Kutai Kartanegara telah ada sejak tahun 1300 Masehi di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam, sebelah tenggara Samarinda.

Kerajaan Kutai Kartanegara mulanya merupakan wilayah taklukan dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata. Merupakan periode yang sama dengan era Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke-14 sampai 15 Masehi). Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian pindah ke Tepian Batu sekitar tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960.

Abad ke-13 Masehi (sekira tahun 1201-1300), sebelum nama Samarinda dikenal, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi. Di antara lokasi yang dimaksud adalah Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan) dan Mangkupelas (Mangkupalas). Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 Hijriyah (24 Februari 1849 M).

Alkisah, pada tahun 1565, terjadi migrasi suku banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Saat itu, rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Lalu, suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan wilayah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang menyebabkan terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari.

Tidak hanya suku Banjar, suku Jawa dan Bugis juga berdatangan ke wilayah ini. Pada 1688, rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Poa Ado) datang ke Samarinda dan diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Kutai. Dengan kesepakatan bahwa warga Bugis harus mendukung semua kepentingan Raja Kutai, termasuk membantu peperangan dengan musuh. Mereka  memilih tinggal di daerah sekitar Muara Karang Mumus (sekarang dikenal dengan nama Selili Seberang).

Bagaimana dengan saal usul nama Samarinda? Merujuk kepada cerita yang berkembang di tengah masyarakat Samarinda, ada empat versi asal-usul nama Kota Samarinda. Pertama, berasal dari Bahasa Melayu, yakni dari kata “sama” dan “rendah”. Dua kata ini merupakan kata yang didapatkan berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit terapung penduduk di Samarinda Seberang yang tidak ada lebih tinggi antara satu dengan yang lain, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.

Versi kedua, berasal dari Bahasa Banjar yang juga dari dua kata yang serupa dengan Bahasa Melayu yaitu “sama” dan rendah, tetapi ini didasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendahnya. Konon dahulunya setiap kali air pasang, kawasan tepian kota selalu tenggelam.

Ketiga, berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu “Samarindo” yang bermakna salam sejahtera. Versi keempat adalah berdasarkan tradisi lisan bahwa nama Samarinda berasal dari Bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.

Versi terakhir yang paling banyak menjadi rujukan masyarakat setempat adalah ketika Raja Kutai memberi izin mereka berdiam di wilayah Kerajaan Kutai dan memilih daerah dataran rendah dekat dengan Sungai Mahakam. Suku Bugis Wajo akhirnya menamakan daerah tersebut “Samarendah” yang terdiri dari dua kata, “sama” dan “rendah” yang artinya tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain.

Penyebutan kata Samarendah saat ini diyakini menjadi Samarinda. Mulanya kota Samarinda berkembang dari tiga kampung pemukiman suku Kutai Puak Melanti yaitu Kampung Mangkupalas, Karang Mumus dan Karang Asam. Ketiga kampung ini bergabung dengan Kelurahan Ulu Dusun di Kutai Lama di bawah pimpinan Ngabehi Ulu. Sebelas tahun sesudah proklamsi kemerdekaan, yaitu Januari 1957, Kalimantan Timur memperoleh status provinsi dan Samarinda terpilih menjadi ibu kota.  Hingga dekade 1980-an, warga setempat masih menyebut Samarenda walaupun dalam penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.

Tak terasa, menikmati sore di taman Sama Rendah telah usai, berganti malam dan gemerlap lampu yang menghiasi taman. Ditemani amplang, sejenis kerupuk yang terbuat dari ikan tenggiri, ikan gabus ataujuga ikan pipih dengan campuran tepung tapioka khas Samarinda dan riuhnya pengunjung taman mengantarkan saya menoleh jauh ke belakang, sejarah panjang Kota Tepian, Samarinda.

Taman Samarendah merupakan bekas Lapangan Pemuda, Bangunan SMP Negeri 1, dan Bangunan SMA Negeri 1 Samarinda yang disulap menjadi taman kota. Jangan khawatir soal keamanan, karena Taman ini dijaga oleh Satuan Polisi Pamong Praja, yang biasanya mengamati pegunjung taman di halaman Museum Samarinda. Saya berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali lagi ke kota pinggir sungai Mahakam yang cantik ini.

 

*)Akademisi UIN Imam Bonjol, Penikmat Wisata dan Budaya
Email: winbaktianur1978@gmail.com

Pos terkait