Maelo pukek, tradisi menangkap ikan ramah laut

Tradisi Maelo Pukek telah ada sejak tahun 1940-an dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi, beranggotakan nelayan senior dengan kisaran usia di atas 40 tahun. Foto: Winbaktianur

Padang (Outsiders)Maelo pukek adalah suatu tradisi atau budaya dalam Bahasa Minang yang memerlukan sekelompok orang untuk menarik ikan dari bibir pantai. Kata “maelo” berarti “menarik,” dan “pukek” berarti “pukat.” Secara harfiah, Maelo Pukek memiliki arti “kegiatan menangkap ikan dengan cara menarik pukat atau jala”. Tradisi ini telah ada sejak tahun 1940-an dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi.

Akhir pekan beberapa waktu lalu, kami putuskan untuk menikmati si raja buah dan lanjut menikmati suasana pantai. Siang itu, setelah menyantap durian disertai pulut (ketan), saya mengajak anak-anak santai sejenak di pantai Bungus. Di sepanjang jalan menuju lokasi pedagang durian yang memang biasa buka lapak saat musim durian tiba, seperti saat ini, mata kami disuguhi birunya laut pesisir pantai Sumatera.

Bacaan Lainnya

Sebelum azan suhur berkumandang, tanpa sengaja saya melihat pukek (pukat) milik nelayan yang sedang dibersihkan dan dijemur. Ini kesempatan untuk menyaksikan nelayan tradisional menangkap ikan menggunakan pukek. Tanpa pikir panjang, kami parkir kendaraan dan menuju pantai. Ternyata ada sekelompok nelayan sedang maelo pukek, persis di bibir pantai berjarak sekitar 10 meter dari jalan Raya Lintas Padang-Painan.

Maelo pukek, tradisi yang telah ada sejak tahun 1940-an dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Biasanya beranggotakan nelayan senior dengan kisaran usia di atas 40 tahun.

Sebelum melakukan maelo pukek, nelayan terlebih dahulu menyebarkan pukek berbentuk jaring ke laut dengan jarak 400 meter hingga 600 meter dari bibir pantai menggunakan perahu. Setelah menunggu sekitar 30 menit hingga 1 jam, masing-masing ujung pukek mulai ditarik, dan ikan terjebak di bagian tengah jaring. Ikan-ikan kecil akan terlepas karena ukuran pukat sudah diperhitungkan besaran ikan yang akan ditangkap. Saat nelayan maelo pukek, tidak sedikit pula masyarakat atau pembeli ikan yang menyaksikan atraksi tersebut.

Pukek ditarik ke tengah laut menggunakan kapal kecil dengan mesin tempel di belakangnya. Setelah jaring pukat disebar, para nelayan akan kembali ke tepi pantai. Selama menunggu, nelayan mempersiapkan tali yang akan dikaitkan ke pinggang untuk menarik pukat dari pinggir pantai. Tali pukek yang diikatkan ke pinggang tujuannya adalah untuk memudahkan nelayan Ketika maelo pukek. Nelayan yang berada di posisi belakang lantas pindah ke posisi depan, begitu seterusnya hingga pukat menepi dengan ikan yang telah terperangkap di dalamnya.

Ritme pergantian paelo pukek (nelayan yang menarik pukat) dari barisan belakang ke depan sangat teratur, seolah-olah ada aba-aba dengan gerakan kaki yang sama

Biasanya, ketika menarik jaring pukat ke arah pinggir pantai, melibatkan sekelompok nelayan yang bergotong-royong menarik pukat ke tepi laut. Proses maelo pukek biasanya memakan waktu sekitar dua jam, dan selama itu, sepuluh hingga lima belas orang nelayan secara bergantian menarik tali pukat. Sebelum pukat ditarik, nelayan terlebih dahulu berlayar ke tengah laut untuk menebar jaring pukat. Setelah itu, tali pukat yang ditinggalkan di bibir pantai ditarik bersama-sama oleh nelayan hingga pukat mencapai tepi pantai.

Ikan hasil tangkapan disebut “lauak pukek” dan biasanya langsung dipasarkan karena merupakan ikan segar yang mudah rusak. Lauak pukek adalah istilah yang merujuk pada ikan hasil tangkapan dalam tradisi maelo pukek. Ketika nelayan menarik pukat dari laut ke bibir pantai, ikan yang terperangkap di dalam pukat disebut sebagai lauak pukek. Ikan ini termasuk ikan segar yang mudah rusak (perishable foods), sehingga langsung dipasarkan begitu maelo pukek selesai dilakukan.

Hasil tangkapannya bervariasi, mulai dari ikan Maco, ikan Gambolo, hingga ikan Baledang. Terkadang, hasil tangkapan juga berupa kepiting dan udang. Hampir semua ikan hasil tangkapan ini kemudian dijual dan hanya sedikit yang dibawa pulang ke rumah. Tidak hanya pengepul ikan, pengunjung yang tertarik juga dapat membeli hasil tangkapan langsung dari nelayan.

Kegiatan maelo pukek biasanya dilakukan saat cuaca sedang baik, dan dalam sehari paelo pukek mampu menarik pukat sebanyak 2 hingga maksimal 4 kali. Tradisi menangkap ikan yang sangat ramah laut, tidak merusak lingkungan dan biota laut.

Setelah puas ikut serta maelo pukek, saatnya mengisi perut. Penanggungjawab pukek menawarkan saya ikan dan mempersilahkan saya mengambil sendiri. Namun, saya tolak dengan halus. Pilihan tempat bersantap di kawasan ini cukup banyak, yang tentu saja menu andalannya adalah makanan laut hasil pukek. Pilihan kami adalah warung persisi di bibir pantai Bungus.

Setelah santap siang, saya baru mengetahui bahwa maelo pukek mengandung unsur, sifat berbagi, menjaga lingkungan dan kearifan lokal. Sehingga saya ditawarkan ikan hasil pukek oleh paelo pukek. Berbagi yang dimaksud adalah suatu tindakan yang berbentuk memberi sedikit rezeki atas hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan paelo pukek yang dinamai dengan mancacak. Mancacak adalah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak ikut dalam pekerjaan maelo pukek tetapi orang ketika nelayan mulai menarik tali pukek orang yang dikatakan mancacak akan membantu menarik tali pukek. Walaupun hanya sebentar saja saya ikut mencacak, saya juga dapat bagian dari ikan yang didapatkan dengan jumnlah sasamba (cukup untuk makan satu keluarga).

Sebagai salah satu destinasi wisata yang terletak di Teluk Kabung, Kota Padang, memasuki pantai bungus tanpa biaya apapun, bahkan parkir juga gratis. Pantai ini menawarkan pesona alam yang indah dengan suasana yang tenang dan pemandangan laut yang memukau. Uniknya pantai ini karena bentuknya seperti sabit atau mencekung. Pemandangan ini memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin menikmati keindahan alam, terutama jika dilihat dari ketinggian Bukit Lampu. Selain itu, pantai Bungus sangat tenang, cocok untuk menghilangkan penat dan menikmati angin sepoi-sepoi sambil menikmati minuman kelapa muda atau segelas kopi. Bahkan pantai ini juga telah dilengkapi dengan hotel maupun losmen dengan harga yanag sangat terjangkau, mulai dari Rp. 150.000 saja.

Mencapai pantai ini sangat mudah, dari pusat kota Padang, wisatawan dapat menaiki angkot rute Pasa Raya-Bungus, dengan ongkos Rp. 10.000. Alternatif lainnya adalah Trans Padang Koridor 2 Bungus Teluk Kabung yang bertolak dari RTH Imam Bonjol, tak jauh dari Pasa Raya Padang. Bagi yang tidak mau repot, transportasi online tersedia setiap waktu, tentu saja dnegan biaya yang jauh lebih mahal. Tertarik untuk bersama-sama maelo pukek? Kelompok nelayan maelo pukek senantiasa ramah menyambut pengunjung yang ingin merasakan sensasi menarik jaring pukat.

Winbaktianur

Akademisi Psikologi Islam UIN Imam Bonjol, Penikmat wisata dan budaya

Email: winbaktianur1978@gmail.com

Pos terkait